Merdeka dari Paradigma Misi Kristen Kolonial yang Memarjinalkan Masyarakat Adat
Oleh: Jear Nenohai
Center for Religious and Cross Cultural Studies
Kelompok masyarakat adat (atau agama suku, agama lokal, agama leluhur), sampai hari ini, masih menjadi target kristenisasi oleh kelompok-kelompok kristen tertentu. Dalam penelitian lapangan saya di pulau Timor tahun 2020 dan di Sumba 2024, saya berjumpa dengan kelompok kristen yang mengakui masih membangun strategi penginjilan untuk meng-“kristen”-kan kelompok masyarakat adat. Argumentasi utamanya, kelompok kristen mengategorikan masyarakat adat sebagai kelompok bodoh dan sesat karena tidak mengenal Kristus dan memeluk agama kristen. Sikap semacam ini juga muncul dalam pola relasi kristen dan masyarakat adat di berbagai tempat lainnya.
Lantas, mengapa mengapa komunitas kristen kerap menjadikan masyarakat adat sebagai objek misi? sejak kapan pandangan itu muncul? Bagaimana komunitas kristen harus membongkar sekaligus melampaui paradigma misi tersebut? Artikel ini hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus menawarkan pandangan alternatif mengenai misi yang berpusat pada prinsip penghormatan serta gerakan kerja-kerja keadilan bagi masyarakat adat.
Memahami Keterbatasan Konstruksi Misi Kolonial
James Cox, dalam bukunya From Primitive to Indigenous, menuduh bahwa gerakan kristenisasi pada masyarakat adat dikonstruksi, secara organisatoris, pada konsili-konsili Gereja di abad pertengahan. Utamanya pada bab 3-4, Cox menunjukkan bahwa ideologi penginjilan dipengaruhi melalui pengkategorian kelompok agama-agama asli (native people) sebagai primal religion; yaitu target utama penginjilan. Bagi kelompok kristen pada waktu itu, tidak ada kebenaran di luar ajaran kristen. Pandangan ini menjadi kuat karena kristen sebagai kelompok mayoritas mengklaim kebenaran satu-satunya hanya ada dalam Yesus Kristus. Konsili gereja kemudian memutuskan dimulainya gerakan penginjilan ke seluruh dunia, dengan menargetkan agama asli sebagai target utama mereka.
Pandangan Cox banyak diafirmasi dalam karya-karya para pakar studi misi di abad 20. Salah satu buku misi kristen berjudul Transformasi Misi Kristen (BPK Gunung Mulia, 2002) yang ditulis oleh David Bosch menegaskan ulang pandangan Cox. Bagi Bosch, gerakan kristenisasi penginjil Eropa tidak merepresentasikan paham misi kristen secara utuh. Para misionaris barat terpengaruh oleh bias imperialisme Eropa yang, secara tidak sadar, melanggengkan penjajahan yang sedang berkedok penginjilan. Dalam bukunya Bosch menawarkan paradigma misi transformatif atas misi penginjilan barat yang terlalu berfokus pada upaya mengkristenkan masyarakat yang memeluk agama di luar kristen. Bosch berpendapat bahwa misi Kristen semestinya bergerak mengikuti kebutuhan konteks dimana Gereja berada. Oleh karena itu, tawaran misiologis Bosch bertumpu para transformasi sosial di mana para misionaris dan gereja itu berada. Pada bab 12 bukunya, Bosch mengusulkan agar misi mengedepankan transformasi sosial dan nilai-nilai kemanusiaan sebagai panggilan utama misi kristen.
Tawaran misi Bosch dekat dengan perubahan paradigma misi yang dikaji oleh para teolog-teolog Indonesia dalam buku Gereja Orang Merdeka, Eklesiologi Pascakolonial Indonesia (Oase Intim, 2019). Berbagai penulis pada buku itu seperti Zakaria J. Ngelow, Asyer Tandapai, Yuberlian Padele, Christina J. Hutubessy, benar-benar menawarkan paradigma kristen dan misi kristen yang baru demi melampaui paradigma kolonial yang menjangkar dalam sanubari komunitas kristen Indonesia hari ini. Salah satu penulis, Elia Maggang, mengatakan bahwa misi Kristen di Indonesia pada masa penjajahan, bahkan hingga sekarang, masih terpengaruh oleh ideologi 3G (gold, glory, gospel).
Dalam hemat saya, Ideologi 3G ini berdampak langsung pada penghancuran sumber daya alam dan konversi masyarakat adat. Dalam era poskolonial Indonesia, paradigma misi perlu meninggalkan ideologi 3G yang lebih banyak merugikan masyarakat Indonesia pada berbagai aspek. Sikap intoleransi antar umat beragama, kerusakan alam, dan sikap konservatif yang ada saat ini tidak lepas dari paradigma misionaris kolonial. Oleh karena itu, Maggang mengusulkan ajaran Trinitas sebagai kerangka misi baru. Trinitas menjadi dasar pembaharuan relasi gereja dan masyarakat, termasuk lingkungan hidup sebagai sesama ciptaan Allah.
Sampai di sini, saya meramu studi James Cox, David Bosch, dan Elia Maggang untuk membaca ulang relasi komunitas kristen dan masyarakat adat. Sependapat dengan para penulis tadi, bagi saya, gerakan penginjilan yang dilakukan komunitas kristen, hari ini, pada masyarakat adalah tindakan melanggengkan misi kolonial. Komunitas kristen, yang bergerak untuk men-kristen-kan masyarakt adat, sedang tidak bekerja untuk kemuliaan nama Tuhan melainkan bekerja untuk melayani ideologi misi para penjajah. Sebagaimana diusulkan oleh Bosch, Konstruksi misi kristen sudah berubah dari ideologi kristenisasi ke transformasi. Gereja dipanggil bukan untuk mengubah identitas atau keyakinan orang lain melainkan mengubah krisis lingkungan hidup (Maggang) dan krisis kemanusiaan (Bosch) karena tujuan utama dari misi kristen adalah mewartakan dan menghadirkan kabar baik Allah di bumi. Kabar baik itu nyata terlihat melalui perubahan sosial yang ada di tengah masyarakat.
Pandangan tentang misi transformatif juga digaungkan oleh para penulis dalam buku Gereja Orang Merdeka seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Saat ini, sesudah merdeka dari penjajahan, Gereja dipanggil untuk mentransformasi krisis yang tengah dihadapi oleh komunitas kristen karena penjajahan di masa lampau dan perubahan sosial-lingkungan hidup di masa kini. Artinya, Gereja dituntut untuk menjawab persoalan nyata keseharian demi kebaikan bersama. Gereja bukan lagi bekerja untuk meng-“kristen”-kan orang lain seperti para penjajah di masa lampau. Oleh karena itu, perubahan misi dari kristenisasi ke transformasi menjadi sebuah kebutuhan dan kesadaran bersama bagi komunitas kristen di hari ini.
Menjadi Gereja bagi Kelompok Marjinal: Melampaui Konstruksi Misi Kolonial
Berdasarkan perubahan pandangan tentang misi kristen ini, saya berpendapat perubahan paradigma komunitas kristen ke masyarakat adat menjadi tidak terhindarkan. Dengan keyakinan bahwa misi yang berorientasi terhadap gerakan konversi sudah harus ditinggalkan karena tidak relevan dalam konteks saat ini. Selain karena pengaruh kolonialisme yang amat kuat, orientasi misi yang berfokus pada konversi masyarakat adat berujung pada konflik antar komunitas seperti yang ada dan pernah saya saksikan sampai hari ini. Di abad 21, Paul Knitter, dalam bukunya Menggugat Arogansi Kekristenan (2005) menyatakan bahwa kita berada dalam konteks multireligiusitas yang menegaskan bahwa Kristus tidak lagi dapat dikekang hanya dalam ajaran kristen semata. Cinta kasih Yesus Kristus hadir dalam peran setiap komunitas dan agama-agama di luar kristen. arogansi kekristen yang menyatakan bahwa ‘tidak ada keselamatan di luar gereja’ tidak relevan alias harus ditinggalkan.
Di abad 21, kerja sama antar komunitas menjadi tujuan dan misi utama setiap kelompok. Kita diperhadapkan dengan krisis lingkungan hidup yang membutuhkan sikap saling menghormati antar umat manusia. Covid-19 telah mengajarkan banyak hal pada kita tentang pentingnya sikap saling menolong di tengah krisis kemanusiaan dan lingkungan hidup. Oleh karena itu, tawaran Bosch tentang transformasi sosial sebagai arah utama misi kristen menjadi sangat relevan.
Dalam relasi kekristenan dan masyarakat adat, tawaran Bosch juga sangat relevan. Sebagai kelompok rentan karena tidak mendapat perlindungan dari negara, masyarakat adat seringkali menjadi korban dari tindakan diskriminasi negara. Negara merampas tanah masyarakat adat untuk dijadikan tambang dan pariwisata yang merusak Bumi. Dalam pengamatan, saya menemukan bahwa komunitas kristen justru berperan sebagai aktor yang mendukung diskriminasi negara terhadap masyarakat adat. Alih-alih menghadirkan kasih Kristus yang indah dan universal itu, komunitas kristen justru mengambil keuntungan dari tindakan negara dengan menjadikan masyarakat adat sebagai objek kristenisasi. Tindakan ini tentu saja bersifat kontraproduktif karena Alkitab banyak mengajarkan pada komunitas kristen bahwa Yesus justru melawan berbagai tindakan kekerasan serta penindasan terhadap masyarakat rentan.
Berpedoman pada misi transformatif David Bosch, saya mengusulkan agar Gereja perlu bertindak sebagai agen penolong dan pelindung masyarakat adat sebagai bagian dari tugas dan panggilan pelayanan Gereja. Pada tahun 2013, Dewan Gereja-gereja Dunia mengusulkan paradigma baru yang disebut mission from the margin. Ide tersebut tertuang dalam dokumen Together towards Life: Mission and Evangelism in Changing Landscapes (TTL) (WCC, 2013). Secara ringkas dokumen tersebut menyerukan agar Gereja bersama-sama masyarakat tertindas melawan berbagai bentuk diskriminasi dari segala bentuk kekuasaan yang menyimoang dari ajaran Kasih Kristus. Seruan WCC sangat relevan untuk merekonstruksi ulang hubungan Gereja dan Masyarakat Adat di Indonesia. Sebagai murid Kristus, sudah seharusnya Gereja bersama masyarakat adat mentrasnformasi segala bentuk penindasan struktural yang berdampak langsung pada perampasan paksa tanah milik masyarakat adat seperti yang saat ini terjadi di berbagai tempat seperti dialami oleh masyarakat Dayak di sekitar proyek IKN, masyarakat adat Rempang di Batam, Amungmee di papua, Besipae di Timor, dan berbagai tempat lain. Mereka, para masyarakat adat yang tertindas, adalah sesama manusia yang perlu mendapatkan uluran tangan komunitas kristen sebagai murid Kristus di dunia ini.
Akhir kata, tawaran paradigma misi transformatif yang menuntut gereja untuk hadir sebagai agen keadilan bagi masyarakat adat sesungguhnya relevan agar komunitas kristen, hari ini, merdeka dari paradigma misi kolonial yang sekian lama menghancurkan kehidupan dan tanah masyarakat adat. Transformasi dan keadilan adalah dua kata kunci penting bagi gereja untuk menjadi saksi kristus di era kemerdekaan. Perubahan paradigma misi, yang saya tawarkan di sini, bermanfaat agar gereja menunjukkan kepedulian dan kasih Kristus yang nyata sebagai dasar bermisi. Gereja tidak lagi bekerja untuk melanggengkan misi kolonial, melainkan bergerak untuk mewartakan keadilan dan kebenaran sebagai dasar teladan Kristus di masa lalu dalam konteks bergereja di masa kini. Juga, Gereja menyadari berbagai ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat karena diskriminasi negara dan pandangan kolonial yang masih ada, meski sudah mulai memudar, dalam paradigma misi Gereja. Perubahan ini dapat dimulai dengan cara memandang dan memperlakukan masyarakat adat sebagai sesama manusia yang dikasihi Yesus.
Biografi singkat: Jear Nenohai, M.A. menamatkan gelar masternya pada Center for Religious and Cross-Culture Studies, Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2024. Penulis berasal dan melayani di Gereja Masehi Injili di Timor, Nusa Tenggara Timur. Penulis memiliki minat studi pada relasi agama kristen dan masyarakat adat. Penulis senang berdiskusi tentang tema-tema seputar kekristenan dan masyarakat adat melalui nenohai46@gmail.com
Post Comment