Loading Now

Merdeka dari Keterputusan: Membebaskan Hidup Kerohanian kita dari Pola Pikir Penjajahan

Oleh: Suar Suaka

Saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan,

hari kemerdekaan yang baru saja kita lewati beberapa hari lalu merupakan momen peringatan akan bebasnya bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa lain. Namun, apa yang dimaksud dengan penjajahan itu? Apakah dominasi ekonomi oleh pemerintah VOC? Apakah ketidaksepahaman secara politik dengan bangsa-bangsa lain tentang kedaulatan kita sebagai sebuah bangsa dan negara? Namun, mungkin juga sebenarnya penjajahan adalah sebuah pola pikir dan perbuatan yang menganggap sebuah kelompok lain sebagai yang lebih lemah dan patut dieksploitasi dengan semena-mena?

Kita tentu dapat membayangkan euforia kita dalam memperingati kemerdekaan terjadi juga pada bangsa Israel ketika mereka terbebas dari perbudakan di Mesir.

Pembebasan itu lalu diikuti oleh serangkaian peristiwa penting di padang gurun. Pertama, tanda-tanda penyertaan Allah dinyatakan bagi bangsa Israel sejak keluarnya mereka dari Tanah Mesir. Kemudian, ditegakkannya perjanjian Allah dengan bangsa Israel dalam bentuk hukum-hukum taurat yang diturunkan oleh Allah bersama Musa di gunung Sinai bagi Israel.

Perjanjian dalam bentuk taurat ini menandai diputuskannya rantai pola penjajahan yang masih melekat di cara hidup orang Israel. Cara hidup yang terbiasa dengan ketidakadilan sudah seperti mendarahdaging dalam cara hidup bangsa Israel oleh karena betapa lamanya mereka hidup bersama sistem ketidakadilan di tanah Mesir. Pola penjajahan itu muncul dalam kebiasaan untuk menyandarkan poros-poros hidupnya bukan pada hubungan mereka dengan keutuhan ciptaan, melainkan pada bangsa Mesir sebagai tuannya.

Ketika kita, sebagai sebuah bangsa, terlepas dari penjajahan, apakah kita sudah sungguh-sungguh memutuskan rantai pola hidup yang sama dengan penjajahan kita waktu itu? Setelah merdeka dari kebiasaan yang menyandarkan diri pada para penjajah, apakah hidup kita sudah mengembalikan poros-poros hidup kita kepada hubungan yang harmonis dengan alam ciptaan? Setelah merdeka, apakah kita sudah terlepas dari pola hubungan yang memahami dunia dalam bingkai hierarkis, melihat siapa yang tinggi atau rendah, atau mayoritas-minoritas?

Komitmen ekoeklesiologis kita berusaha memutus rantai pola penjajahan tersebut melalui perubahan pola pikir kita dalam memahami kekristenan. Komitmen ekoeklesiologis kita memandang bahwa yang disebut Gereja adalah Bumi dan seluruh ciptaan, bukan hanya manusia saja. Pemaknaan ini melepaskan pola penjajahan dalam kehidupan iman kita yang menganggap bahwa manusia itu terlepas dan lebih tinggi dari alam ciptaan lainnya.

Mungkin sebelumnya kita diajarkan seakan-akan manusia adalah pusat alam semesta, pusat karya keselamatan Allah di dunia. Padahal, sejak dari karya penciptaan dunia ini hingga janji Allah akan pembaruan ciptaan di akhir zaman, keberadaan manusia tidak pernah terlepaskan dari unsur-unsur ciptaan lain. Jadi, ketika pola penjajahan melihat manusia terlepas dari ciptaan, iman dan perspektif ekoeklesiologis kita selalu mengingat posisi manusia sebagai bagian dari ciptaan. Setiap bagian hidupnya tidak dapat dilepas dari ciptaan lainnya.

Untuk sungguh-sungguh merdeka, kita perlu meninggalkan pola-pola penjajahan dalam pemahaman iman kita. Salah satunya adalah pola pikir yang menanggap diri terpisah dari ciptaan. Iman kita adalah iman yang sadar akan keterhubungan kita dan kesalingtergantungan kita dengan segenap alam ciptaan.

Mari Berdoa

Bapa yang baik, ajar kami untuk membuka mata kami melampaui diri kami sendiri. Ajar kami untuk menyadari betapa kami terhubung dengan ciptaan. Ajar kami untuk merdeka dari pola-pola pikir penjajahan yang memisahkan kami dari keutuhan dan kesempurnaan alam ciptaan-Mu. Dalam nama Yesus Kristus kami berdoa. Amin.

Post Comment