Merangkul Keutuhan dalam Pelbagai Pengalaman Tubuh Penatalayan Bumi
Oleh: Suar Suaka
Di tengah era Antroposen, kita sebagai umat Kristen Indonesia dihadapkan pada dua tantangan besar: masalah disabilitas dan krisis lingkungan. Kedua isu ini mungkin tampak terpisah, namun sebenarnya saling terkait dalam panggilan kita sebagai penatalayan ciptaan Allah. Artikel ini mengajak kita untuk memikirkan kembali konsep disabilitas dan kemampuan melalui perspektif penatalayanan ekologis Kristen, demi membuka jalan menuju keutuhan yang inklusif bagi seluruh ciptaan.
Mendekonstruksi Disabilitas di Era Antroposen
“Janganlah kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” (Matius 7:1)
Selama ini, masyarakat kita cenderung memandang disabilitas sebagai kekurangan individu yang memisahkan orang “normal” dari mereka yang dianggap “cacat”. Pandangan ini telah menciptakan stigma dan pengucilan di Indonesia. Namun, apakah ini sejalan dengan ajaran Kristus yang merangkul semua orang?
Model Sosial Disabilitas menantang kita untuk melihat bahwa sebenarnya bukan kondisi fisik atau mental seseorang yang menciptakan disabilitas, melainkan struktur dan sikap masyarakat yang tidak inklusif. Ketika kita gagal menyediakan akses dan kesempatan yang setara, kitalah yang menciptakan hambatan dan membuat sesama kita menjadi “disabled”.
“Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus.” (1 Korintus 12:12)
Di era Antroposen, kita semakin menyadari kerentanan bersama kita sebagai bagian dari ekosistem Bumi. Perubahan iklim, pencemaran, dan kerusakan lingkungan mempengaruhi kita semua, membawa disabilitas bagi ciptaan melalui struktur yang merusak. Kerusakan ini juga menunjukkan betapa kita sebagai bagian-bagian dari alam sebagai keutuhan Tubuh Kristus bergantung dengan satu sama lain untuk bertahan hidup.
Sama seperti ekosistem yang sehat membutuhkan keragaman, tubuh Kristus juga memerlukan keberagaman anggotanya untuk berfungsi secara optimal. Setiap orang, dengan kemampuan dan keterbatasannya masing-masing, memiliki peran unik dalam rencana Allah.
Penatalayanan Ekologis Kristen: Jalan Menuju Keutuhan yang Inklusif
“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Korintus 5:17)
Ekoteologi mengajak kita untuk memperluas pemahaman kita tentang tubuh Kristus; bukan hanya umat manusia saja, tetapi seluruh ciptaan. Dalam perspektif ini, setiap elemen ciptaan (manusia, hewan, tumbuhan, bahkan ekosistem) adalah bagian dari tubuh Kristus.
Ketika kita memahami hal ini, kita mulai melihat bahwa setiap bagian ciptaan, terlepas dari kemampuan atau fungsinya yang tampak, memiliki nilai intrinsik dan peran dalam rencana keselamatan Allah. Pandangan ini menantang kita untuk menghargai keragaman kemampuan sebagai cerminan dari kekayaan ciptaan Allah, bukan sebagai hierarki nilai.
“Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.” (Efesus 1:9-10)
Penatalayanan ekologis Kristen mengajarkan kita bahwa keselamatan bukan hanya tentang jiwa individu, tetapi pemulihan seluruh ciptaan. Ini berarti tanggung jawab kita sebagai penatalayan melampaui kepedulian terhadap sesama manusia, mencakup seluruh komunitas Bumi.
Dalam konteks ini, upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif bagi penyandang disabilitas menjadi bagian tak terpisahkan dari tugas kita merawat Bumi. Ketika kita bekerja untuk menghilangkan hambatan bagi penyandang disabilitas, kita juga belajar untuk menghargai dan memelihara keragaman dalam ekosistem kita.
Kesimpulan: Menuju Praksis Ekologis yang Inklusif
Sebagai umat Kristen Indonesia, kita dipanggil untuk menjadi pelopor dalam menciptakan masyarakat dan lingkungan yang inklusif. Ini berarti menantang stereotip tentang disabilitas, memperjuangkan aksesibilitas, dan pada saat yang sama, merawat lingkungan kita sebagai bagian dari tubuh Kristus yang lebih luas.
Mari kita mulai dengan melihat keragaman kemampuan di sekitar kita – baik dalam komunitas manusia maupun alam – sebagai anugerah, bukan beban. Dengan melakukan ini, kita tidak hanya menciptakan ruang yang lebih inklusif bagi semua orang, tetapi juga berpartisipasi dalam pemulihan ekologis yang merupakan bagian integral dari rencana keselamatan Allah.
“Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu” (Wahyu 21:1)
Kiranya visi alkitabiah ini menginspirasi kita untuk terus bekerja menuju keutuhan yang inklusif bagi seluruh ciptaan, merangkul keragaman sebagai kekuatan, bukan kelemahan, dalam perjalanan kita sebagai penatalayan Allah di era Antroposen ini.
1 comment