Loading Now

Menuju Kemerdekaan Ekoeklesiologis HUT RI ke-79

Saat kita merayakan 79 tahun kemerdekaan Indonesia, kita diajak untuk merefleksikan makna kemerdekaan yang lebih dalam. Apakah kemerdekaan hanya tentang kebebasan politik? Bagaimana dengan kebebasan spiritual kita sebagai umat Kristen? Dan yang sering terlupakan, bagaimana dengan kemerdekaan alam Indonesia yang kita cintai? Mari kita jelajahi bersama bagaimana pandangan ekoeklesiologis memandang sebuah kemerdekaan sejati yang mencakup harmoni antara politik, spiritualitas, dan ekologi.

Sebagai bangsa yang telah merdeka selama 79 tahun, kita telah mengalami berbagai perubahan dan tantangan. Namun, di tengah perubahan secara politik dan ekonomi, kita sering melupakan aspek penting lainnya dari kemerdekaan, yaitu hubungan kita dengan alam ciptaan. Sebagai umat Kristen, kita dipanggil untuk melihat kemerdekaan dari perspektif yang lebih luas, yang mencakup tidak hanya kemerdekaan secara politik, tetapi juga kemerdekaan spiritual-ekologis.

Memahami Kemerdekaan dalam Perspektif Ekoeklesiologis

Reinterpretasi Konsep Teologis

Biasanya, kita sering memahami konsep-konsep seperti “Tubuh Kristus“, “Kerajaan Allah”, atau “Penebusan” dalam konteks yang terbatas hanya pada manusia dan gereja sebagai institusi atau bangunan saja. Namun, perspektif ekoeklesiologis mengajak kita untuk memperluas pemahaman kita tentang konsep-konsep ini.

Pertama, mari kita lihat konsep “Tubuh Kristus”. Dalam Efesus 1:22-23, Paulus menulis, “Dan Allah telah meletakkan segala sesuatu di bawah kaki Kristus dan telah menetapkan Dia menjadi kepala atas segala sesuatu bagi jemaat, yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu.” Dalam pemahaman ekoeklesiologis, “segala sesuatu” ini tidak hanya mencakup manusia, tetapi seluruh ciptaan. Ini berarti bahwa pohon-pohon, sungai-sungai, gunung-gunung, bahkan udara yang kita hirup adalah bagian dari “Tubuh Kristus”. Dengan pemahaman ini, merusak alam sama dengan merusak tubuh Kristus sendiri.

Kedua, konsep “Kerajaan Allah” juga mendapat makna baru. Yesus sering menggunakan metafora alam dalam pengajaran-Nya tentang Kerajaan Allah – biji sesawi yang tumbuh menjadi pohon besar (Matius 13:31-32), atau ragi yang mengembangkan seluruh adonan (Matius 13:33). Ini menunjukkan bahwa Kerajaan Allah tidak terpisah dari alam, tetapi justru terwujud dalam harmoni antar makhluk di alam ciptaan. Memperjuangkan kelestarian alam, dengan demikian, adalah bagian dari mewujudkan Kerajaan Allah di bumi.

Ketiga, konsep “Penebusan” juga perlu kita pahami dalam konteks yang lebih luas. Dalam Roma 8:19-22, Paulus berbicara tentang seluruh ciptaan yang merindukan pembebasan. “Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin.” (Roma 8:22). Ini menunjukkan bahwa karya penebusan Kristus tidak hanya untuk manusia, tetapi untuk seluruh ciptaan. Oleh karena itu, partisipasi kita dalam karya penebusan ini harus mencakup upaya untuk “membebaskan” alam dari eksploitasi dan kerusakan.

Kemerdekaan sebagai Harmoni Ekologis

Dengan pemahaman ekoeklesiologis yang baru ini, kita dapat melihat kemerdekaan dalam terang yang berbeda. Kemerdekaan sejati adalah ketika kita hidup dalam harmoni dengan seluruh ciptaan. Ini berarti kemerdekaan dari eksploitasi alam yang berlebihan, kemerdekaan untuk menghirup udara bersih, dan kemerdekaan untuk hidup dalam hubungan kasih bersama alam ciptaan.

Dalam Kejadian 2:15, kita membaca bahwa Tuhan menempatkan manusia di taman Eden untuk “mengusahakan dan memelihara” taman itu. Kata Ibrani untuk “mengusahakan” (abad) dan “memelihara” (shamar) memiliki makna yang dalam. “Abad” tidak hanya berarti bekerja, tetapi juga melayani. “Shamar” berarti menjaga, melindungi, dan melestarikan. Jadi, mandat kita sebagai manusia adalah untuk melayani dan memastikan kelestarian alam, bukan sekadar memanfaatkannya bagi keuntungan sendiri.

Kemerdekaan ekologis, dengan demikian, adalah kebebasan bagi segala makhluk untuk menjalankan hidup dan hubungan-hubungan ekologisnya. Bagi manusia, ini adalah kebebasan untuk hidup dalam hubungan yang penuh kasih dengan alam ciptaan, di mana kita tidak hanya mengambil saja, tetapi juga memenuhi tugas kita dalam melayani dan melindungi. Inilah bentuk kemerdekaan yang Tuhan inginkan untuk kita sebagai bagian dari ciptaan-Nya.

Peran Pemuda Kristen dalam Perjuangan Kemerdekaan Ekologis

Transformasi Kesadaran Eko-Spiritual

Sebagai pemuda Kristen, kita dipanggil untuk menjadi agen perubahan. Bagi Suar Suaka, transformasi ini dimulai dari cara kita memahami Tuhan dan alam ciptaan. Kita tidak bisa lagi melihat alam sebagai sumber daya, melainkan sebagai “saudara” sesama ciptaan. Ini sejalan dengan pandangan Fransiskus dari Asisi, seorang teolog mashyur di masa lampau, yang menyebut matahari, bulan, dan bahkan kematian sebagai “saudara” dan “saudari”.

Transformasi kesadaran ini juga berarti melihat tindakan pelestarian alam sebagai bentuk ibadah kita yang sejati. Dalam Mazmur 19:1, kita membaca, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.” Ketika kita menjaga kelestarian alam, kita sedang memelihara “kitab” kedua Tuhan – alam semesta yang menyatakan kemuliaan-Nya.

Lebih jauh lagi, kesadaran ekoeklesiologis ini mengajak kita untuk melihat dosa dalam perspektif yang lebih luas. Dosa tidak hanya terbatas pada pelanggaran moral yang terjadi antar manusia saja, tetapi juga mencakup tindakan yang merusak hubungan kasih antara berbagai ciptaan Tuhan. Eksploitasi alam yang berlebihan, pencemaran lingkungan, dan ketidakpedulian terhadap krisis ekologi adalah bentuk-bentuk dosa yang perlu kita sadari dan hindari.

Refleksi Ekoeklesiologis terhadap 79 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Selama 79 tahun kemerdekaan, Indonesia telah mencapai banyak hal. Namun, kita juga harus jujur bahwa kemajuan tersebut tidak datang sendirian, melainkan datang bersama dengan berbagai kerusakan. Hutan-hutan yang semakin menyusut, sungai-sungai yang tercemar, dan udara yang semakin tak layak hirup di kota-kota besar yang mementingkan mobil dan motor daripada keselarasan ciptaan. Semua ini bukan hanya permasalahan lingkungan, melainkan juga permasalahan politik dan permasalahan hidup kerohanian kita!

Sebagai orang Kristen, kita tidak dapat menutup mata terhadap realitas ini. Jika Allah adalah kasih dan cara hidup kita mengabaikan dan merusak hubungan-hubungan kasih antar ciptaan di Indonesia, maka apakah Allah sungguh-sungguh berkarya dalam hidup umat Kristen di Indonesia? Kita perlu mengakui bahwa dalam banyak hal, kita telah gagal dalam mandat kita untuk “memelihara” (shamar) ciptaan Tuhan. Pengakuan ini bukan untuk membuat kita putus asa, tetapi untuk mendorong kita kepada pertobatan dan tindakan nyata. Keselamatan yang dijanjikan Allah merupakan penyelamatan yang menyeluruh, yang melingkupi “langit dan bumi yang baru” juga, yaitu pemulihan yang mencapai seluruh ciptaan.

Melihat janji akhir zaman itu, kita sadar sebagai pengikut Kristus bahwa Allah menjanjikan harapan dalam keselamatan-Nya. Dalam Wahyu 21:5, kita membaca janji Tuhan itu, “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Janji ini mencakup pembaruan seluruh ciptaan, termasuk alam Indonesia yang kita cintai.

Mari kita bayangkan dan perjuangkan Indonesia yang tidak hanya merdeka sebagai negara saja, tetapi juga merdeka secara ekologis. Indonesia yang merdeka adalah Indonesia dengan hutan-hutan yang kembali sehat, sungai-sungai yang kembali jernih, dan udara yang kembali segar. Indonesia yang merdeka adalah Indonesia di mana setiap makhluk di alam ciptaan hidup dalam hubungan yang penuh kasih.

Visi ini bukan hanya mimpi, tetapi panggilan kita sebagai penatalayan ciptaan. Ini adalah panggilan untuk mewujudkan “langit dan bumi yang baru” (Wahyu 21:1) di sini dan sekarang, dimulai dari tanah air kita tercinta, Indonesia.

Post Comment