Menemukan Kearifan Ekologis dalam Mazmur Daud
Oleh: Suar Suaka
Di tengah krisis lingkungan yang semakin mengkhawatirkan, kita sebagai umat Kristiani di Indonesia ditantang untuk menemukan sumber-sumber spiritualitas yang dapat membimbing kita dalam menjaga dan melestarikan alam. Mazmur Daud, yang sering kali dilihat hanya sebagai ungkapan pujian dan doa kepada Tuhan, sebenarnya menyimpan kearifan ekologis yang mendalam. Artikel ini mengajak kita untuk melihat kembali Mazmur Daud melalui kacamata eko-eklesiologis, mengungkap relevansinya dalam membentuk spiritualitas konservasi yang kuat dan bermakna bagi konteks Indonesia saat ini.
Konteks Eko-sosiologis Mazmur Daud
Daud, sang pemazmur, hidup di tengah masyarakat Israel kuno yang memiliki hubungan erat dengan alam. Sebagai gembala yang kemudian menjadi raja, Daud memahami betapa erat hubungan dirinya dan masyarakatnya dengan unsur-unsur ciptaan lain di lingkungannya melalui pengamatan dan interaksinya dengan ciptaan. Pengalaman ini membentuk cara pandangnya terhadap alam, yang tercermin juga dalam mazmur-mazmurnya. Dalam konteks ini, alam bukan hanya menjadi latar belakang yang pasif, tetapi menjadi bagian integral yang turut membentuk pengalaman spiritual dan pemahaman teologisnya.
Bagi Israel kuno, alam bukan sekadar sumber daya untuk dieksploitasi, melainkan bukti nyata kehadiran dan karya Tuhan. Konsep penciptaan dalam tradisi Yahudi menekankan peran manusia dalam kaitannya dengan ciptaan lain. Mazmur Daud mencerminkan pemahaman ini, menggambarkan alam sebagai pembentuk pengalaman tentang kemuliaan dan hikmat Tuhan. Perspektif ini sangat relevan dengan pemahaman eko-teologis kontemporer yang melihat alam sebagai sakramen dan tanda nyata kehadiran ilahi.
Eko-teologi dalam Mazmur-Mazmur Daud
Mazmur 19: Alam sebagai Pewahyuan Ilahi
Mazmur 19 dimulai dengan pernyataan yang kuat: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya” (Mazmur 19:2). Melalui kacamata eko-eklesiologis, kita dapat melihat bagaimana Daud memahami alam sebagai bentuk pewahyuan yang ilahi. Langit, matahari, dan seluruh ciptaan dipahami sebagai “kitab” yang mengungkapkan karakter dan kehendak Tuhan.
Dalam konteks krisis ekologi saat ini, Mazmur 19 mengingatkan kita bahwa merusak alam sama dengan mengabaikan suara Tuhan. Pemahaman ini mengajak kita untuk memandang konservasi terhadap alam ciptaan bukan hanya sebagai tanggung jawab ekologis, tetapi juga sebagai tindakan spiritual dalam merespons pewahyuan Tuhan melalui ciptaan-Nya.
Mazmur 104: Keterkaitan Ekosistem dalam Ciptaan
Mazmur 104 memberikan gambaran yang menakjubkan tentang keterkaitan seluruh ciptaan dalam satu ekosistem yang kompleks. Daud menggambarkan bagaimana Tuhan memelihara ciptaan-Nya, dari tumbuhan hingga hewan, dari laut hingga gunung. “Engkau yang memancarkan mata air di lembah-lembah, mengalir di antara gunung-gunung” (Mazmur 104:10), menunjukkan pemahaman Daud akan siklus air dan perannya dalam hubungan dengan ciptaan lain di kesatuan ekosistem.
Melalui perspektif eko-eklesiologis, Mazmur 104 mengajarkan kita tentang konsep kesalingtergantungan dalam ciptaan sebagai satu kesatuan yang kita sebut sebagai “Gereja”. Ini sangat relevan dengan pemahaman ekologi modern yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Bagi kita di Indonesia, yang diberkati dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, Mazmur ini mengingatkan akan tanggung jawab kita untuk menjaga keseimbangan alam sebagai bagian dari ibadah kita yang sejati pada Sang Pencipta.
Mazmur 148: Pujian Kosmik dan Tanggung Jawab Ekologis
Mazmur 148 menggambarkan seluruh ciptaan, dari benda-benda langit hingga makhluk di bumi, bersatu dalam memuji Tuhan. “Pujilah Dia, matahari dan bulan, pujilah Dia, semua bintang terang!” (Mazmur 148:3). Perspektif ini menantang pandangan antroposentris yang menempatkan manusia seakan-akan dalam hubungan yang khusus dengan Sang Pencipta.
Dari sudut pandang eko-eklesiologis, Mazmur 148 mengajak kita untuk memahami peran manusia bukan sebagai penguasa atas alam, melainkan sebagai bagian dari “paduan suara kosmik” yang memuji Tuhan. Ini menyiratkan tanggung jawab ekologis yang mendalam: jika kita merusak alam, kita menghentikan “suara pujian” ciptaan kepada Penciptanya. Bagi kita di Indonesia, yang sering menghadapi dilema antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan, Mazmur ini mengingatkan bahwa menjaga integritas ciptaan adalah bagian tak terpisahkan dari ibadah kita.
Implikasi untuk Spiritualitas Konservasi Hari Ini
Pemahaman eko-teologis atas Mazmur Daud memberikan dasar yang kuat untuk membangun etika lingkungan yang berakar pada Alkitab. Pertama, kita diajak untuk melihat alam bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai subjek yang memiliki nilai intrinsik di hadapan Tuhan. Kedua, konsep penatalayanan dalam Alkitab perlu dipahami ulang bukan sebagai dominasi, melainkan sebagai pelayanan dan pemeliharaan terhadap ciptaan Tuhan.
Dalam konteks Indonesia, di mana kearifan lokal sering kali sejalan dengan prinsip-prinsip pelestarian alam, etika lingkungan berbasis Alkitab dapat menjadi jembatan antara iman Kristen dan kearifan tradisional. Ini dapat mendorong dialog antar-kepercayaan dalam upaya bersama melestarikan lingkungan.
Mazmur Daud mengajarkan kita bahwa hubungan kita dengan alam adalah bagian penting dari pengalaman spiritual. Berdasarkan pemahaman ini, kita dapat memahami praktik-praktik spiritual kita dalam integrasinya dengan kesadaran ekologis, seperti:
- Refleksi rohani: Menghabiskan waktu dalam keheningan di alam terbuka, merenungkan keindahan dan kompleksitas ciptaan Tuhan.
- Doa: Mengembangkan doa-doa yang mencakup syukur atas ciptaan dan permohonan untuk kebijaksanaan dalam menjaga lingkungan.
- Ibadah: Mengintegrasikan elemen-elemen alam dalam ibadah gereja, misalnya melalui penggunaan simbol-simbol alam atau ibadah di luar ruangan.
- Puasa: Mengurangi konsumsi sumber daya alam sebagai bentuk disiplin spiritual.
Kesadaran yang menyatukan pengalaman spiritualitas dan kesadaran ekologis ini dapat membantu kita sebagai pengikut Kristus di Indonesia mengembangkan spiritualitas yang lebih peka terhadap alam dan mendorong gaya hidup yang lebih berkelanjutan.
Kesimpulan
Mazmur Daud, ketika dibaca melalui lensa eko-eklesiologis, menawarkan kearifan ekologis yang mendalam dan relevan untuk konteks krisis lingkungan saat ini. Bagi kita di Indonesia, pemahaman ini dapat menjadi fondasi untuk membangun spiritualitas konservasi yang kuat, menghubungkan iman Kristen dengan tanggung jawab ekologis. Dengan melihat alam sebagai pewahyuan ilahi, memahami keterkaitan seluruh ciptaan, dan mengakui peran kita dalam “paduan suara kosmik,” kita dapat mengembangkan etika dan praktik spiritual yang mendorong pelestarian lingkungan sebagai bagian integral dari kehidupan iman kita. Mari kita bersama-sama menemukan kembali kearifan ekologis dalam warisan spiritual kita dan menjadikannya panduan dalam menjaga dan memulihkan keindahan ciptaan Tuhan di bumi Indonesia tercinta.
Post Comment