Konsesi Tambang: Jebakan Dosa bagi Organisasi Keagamaan Indonesia
Oleh: Suar Suaka
Dalam beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan: beberapa organisasi keagamaan di Indonesia menerima konsesi tambang dari pemerintah. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas dan independensi mereka dalam mengkritisi kebijakan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan lingkungan dan keadilan sosial. Sebagai pengikut Kristus, kita perlu memahami bahwa pemberian konsesi tambang ini bukan sekadar masalah ekonomi semata, melainkan jebakan dosa yang mengancam peran profetik umat beragama dan kesatuan ekologis yang kita pahami sebagai Gereja dan tubuh Kristus.
Konsesi Tambang sebagai Jebakan Kapitalisme
Sejarah konsesi tambang di Indonesia berakar pada masa kolonial, di mana sumber daya alam kita dieksploitasi untuk kepentingan penjajah. Setelah kemerdekaan, praktik ini berlanjut dengan dalih pembangunan ekonomi. Namun, seiring waktu, kita melihat bahwa konsesi tambang sering kali menjadi alat politik dan ekonomi yang menguntungkan hanya segelintir elit keagamaan saja, yang mengambil keuntungan dari perusakan terhadap hubungan kasih antara manusia dengan ciptaan lain di sekitarnya.
Yesus pernah mengingatkan kita, “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi, di mana ngengat dan karat merusakkannya dan di mana pencuri membongkar serta mencurinya” (Matius 6:19). Konsesi tambang, dalam konteks ini, bisa dilihat sebagai godaan duniawi yang mengalihkan fokus kita dari misi rohani kita yang sejati, yaitu untuk memulihkan hubungan-hubungan yang rusak bagi keutuhan alam ciptaan.
Meski ada argumen bahwa konsesi tambang membawa manfaat ekonomi, pada kenyataannya yang terjadi hanya perpindahan kemakmuran yang tidak berkeadilan. Dampak kerugian yang ditimbulkan terhadap lingkungan dan masyarakat di dalamnya jauh lebih besar daripada keuntungan ekonomi jangka pendek. Kita melihat komunitas-komunitas lokal tercerabut, terusir dari tanahnya sendiri, sumber-sumber air tercemar dan mengering, dan hutan-hutan yang dulu menjadi paru-paru bumi kini gundul dan tandus.
Firman Tuhan mengingatkan kita, “Sebab akar segala kejahatan ialah cinta uang” (1 Timotius 6:10). Ketika organisasi keagamaan terjebak dalam logika keuntungan ekonomi dari konsesi tambang, mereka berisiko kehilangan pedoman moralnya.
Organisasi Keagamaan dan Peran Kenabiannya
Sejak zaman para nabi, agama memiliki fungsi kritis terhadap penguasa dan ketidakadilan sosial. Nabi Amos dengan lantang menyuarakan, “Keadilan berguling-guling di tanah dan kebenaran tertelan” (Amos 5:7). Demikian pula, gereja dan organisasi keagamaan seharusnya menjadi suara kenabian yang berani menegur ketidakadilan, termasuk eksploitasi terhadap alam.
Ketika organisasi keagamaan menerima konsesi tambang, mereka menghadapi dilema etis yang besar. Di satu sisi, ada godaan untuk memanfaatkan sumber daya ini untuk “kebaikan” (baca: “keuntungan”). Namun, di sisi lain, hal ini bisa merusakkan kemampuan mereka untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang merusak lingkungan.
Yesus berkata, “Tidak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan” (Matius 6:24). Penerimaan konsesi tambang berisiko menjadikan organisasi keagamaan ‘mengabdi’ kepada kepentingan ekonomi, alih-alih pada misi spiritual dan profetik mereka.
Gambaran aneh seperti “pengelolaan tambang yang ramah lingkungan” merupakan dalih yang bertujuan memberi kesan baik pada kejahatan. Hal ini pernah dikritik oleh Yesus ketika Ia berkata, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran” (Matius 23:27).
Komitmen Eko-eklesiologis Kita
Dalam komitmen eko-eklesiologis kita, gereja tidak hanya kita lihat sebagai komunitas manusia, tetapi sebagai kesatuan ekologis yang mencakup seluruh ciptaan. Rasul Paulus menulis, “Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan… dalam pengharapan” (Roma 8:20). Ini menegaskan bahwa nasib kita terikat dengan nasib seluruh ciptaan.
Ketika kita merusak alam melalui operasi tambang yang eksploitatif itu, kita sesungguhnya melukai tubuh Kristus sendiri. Setiap lubang tambang yang menganga di permukaan bumi adalah luka pada tubuh Gereja yang hidup.
Komitmen eko-eklesiologis membantu kita melihat bagaimana materi yang tersebar di sekitar kita turut membentuk hidup kerohanian dan pengalaman iman kita. Dalam hal ini, konsesi tambang bukan sekadar permasalahan ekonomi, tetapi bagian dari manifestasi hidup keimanan kita yang sedang rusak.
Ketika organisasi keagamaan diajak untuk terlibat dalam sistem ini, mereka sedang ditawarkan untuk ambil bagian dalam “dosa struktural”, yaitu sebuah sistem ketidakadilan yang melembaga. Yesus mengecam hal serupa ketika Ia mengusir para pedagang dari Bait Allah, mengatakan, “Rumah-Ku akan disebut rumah doa, tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun” (Matius 21:13). Begitu juga Paulus mengingatkan, “perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.”
Sebagai umat Kristiani di Indonesia, kita dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia. Ini berarti kita harus berani menolak ‘jebakan dosa’ berupa konsesi tambang yang mengancam integritas moral dan peran profetik kita. Kita perlu kembali pada panggilan untuk menjaga dan memelihara ciptaan Tuhan, bukan untuk merusakkannya.
Mari kita ingat peringatan Tuhan melalui nabi Yehezkiel, “Celakalah gembala-gembala Israel yang menggembalakan dirinya sendiri! Bukankah gembala-gembala harus menggembalakan domba?” (Yehezkiel 34:2). Sudah saatnya kita, sebagai bagian dari Gereja seluruh ciptaan dan organisasi keagamaan pemimpin hati nurani umat, kembali pada peran kita yang sejati: menjadi suara kenabian, melindungi yang lemah, dan menjaga keutuhan ciptaan Tuhan.
Dengan menolak jebakan konsesi tambang, kita memilih untuk setia pada panggilan ilahi kita, menjaga keutuhan ciptaan, dan menegakkan keadilan bagi seluruh makhluk. Inilah tantangan dan panggilan kita sebagai pengikut Kristus di era krisis ekologi ini.
Post Comment