Ekoeklesiologi Pelangi dan Perjanjian Allah bagi Seluruh Ciptaan
Pendahuluan
Kita hidup dalam zaman di mana krisis ekologis (dan ekoteologi) telah menjadi luka terbuka dalam tubuh dunia. Udara yang tak lagi bisa dihirup, laut yang menenggelamkan lebih dari sekadar daratan, dan tanah yang merintih di bawah beban keserakahan manusia. Di tengah kenyataan ini, kita bertanya: Apakah iman Kristen masih mampu memberi harapan?
Terlalu lama, kita membatasi karya keselamatan Allah hanya dalam narasi manusia. Kita mengkhotbahkan perjanjian ilahi antara Tuhan dan umat manusia, seakan ciptaan lainnya hanyalah panggung latar dari drama keselamatan ini. Tetapi bagaimana jika sejak awal perjanjian Allah telah melampaui batas kemanusiaan? Bagaimana jika Yesus Kristus bukan hanya penggenapan janji Allah kepada manusia, tetapi juga kepada seluruh ciptaan?
Pembacaan Alkitabiah: Kejadian 9 dan Perjanjian Kosmik
Setelah banjir besar yang memusnahkan segala sesuatu, Allah mengikat perjanjian bukan hanya dengan Nuh dan anak-anaknya. Ia secara eksplisit mengikat perjanjian dengan “segala makhluk hidup”:
Di sini, perjanjian Allah bukanlah antara Tuhan dan umat manusia saja, melainkan mencakup segala yang bernapas dan bergerak di bumi. Pelangi bukan sekadar simbol saja. Ia adalah sebuah meterai ekoeklesiologi, tanda pengikat kasih Allah yang menyatukan ciptaan sebagai satu tubuh yang kita sebut Gereja.
Lebih jauh, ini bukanlah satu-satunya momen dalam Kitab Suci di mana seluruh ciptaan terlibat dalam drama keselamatan. Dalam Hosea 2, Allah berfirman:
Kitab Ayub, Mazmur, dan Yesaya, dipenuhi pengakuan bahwa ciptaan bukan hanya objek pasif, tetapi sebagai mitra manusia dan Allah. Maka ketika kita berbicara tentang Yesus sebagai “penggenapan perjanjian,” kita tidak boleh mengecilkan cakupan perjanjian itu.
Refleksi Teologis: Yesus dan Kosmologi Perjanjian
Melalui lensa ekoeklesiologi Suar Suaka, kita menyadari bahwa Yesus Kristus hadir bukan hanya untuk menebus manusia dari dosa, tetapi untuk mendamaikan segala sesuatu yang telah terpisah dari Allah. Rasul Paulus menegaskan hal ini dalam Kolose 1:19-20:
Kata “segala sesuatu” (τα παντα dalam bahasa Yunani) tidak menyisakan ruang untuk melihat keselamatan secara eksklusif (eksklusivisme soteriologis). Ungkapan ini secara ekoteologi berarti bahwa langit, tanah, sungai, makhluk hidup, bahkan udara, semuanya terlibat dalam proyek pendamaian Allah dalam Kristus.
Dengan demikian, kita membaca kembali Kejadian 9 dalam cahaya Ekologi yang Kristosentris dan Kristologi yang Ekosentris. Yesus adalah pelangi yang hidup, bukan hanya di langit, tetapi dalam tubuh manusia dan ciptaan yang Ia bawa ke dalam pendamaian. Dalam perspektif ekoeklesiologi Suar Suaka, pengajaran tentang Yesus tak bisa dipisahkan dari kenyataan material dunia. Tubuh Yesus bukan hanya tubuh spiritual; ia adalah tubuh bumi, tanah yang dipijak, air yang diminum, udara yang dihirup, di mana semuanya terbungkus dalam inkarnasi ilahi.
Bahkan, secara teologis, jika kita memaknai Yesus sebagai Immanuel, yaitu Allah yang menyertai, maka pertanyaannya menjadi: Siapa yang Ia sertai? Jika ciptaan pun ikut mengerang (Roma 8:22), maka penghiburan Kristus harus juga hadir di tengah penderitaan bumi. Kita tak bisa lagi mempertahankan tafsiran Kristologi yang hanya fokus pada hubungan vertikal manusia-Allah, sembari mengabaikan hubungan horizontal kita dengan tanah dan makhluk lainnya.
Konteks Nyata: Gereja dan Pelanggaran Perjanjian
Realitas hari ini berbicara lain. Gereja sering menjadi pelanggar perjanjian pelangi itu. Dalam semangat pembangunan, tanah-tanah dihancurkan dengan aktivitas industri ekstraktif seperti pertambangan; dalam nama “berkat,” sungai dicemari; dalam liturgi yang “rohani,” tubuh bumi tak diindahkan. Kita hidup dalam paradigma teologi yang melanggengkan dualitas palsu: tubuh vs roh, bumi vs sorga, material vs spiritual.
Namun jika kita jujur terhadap Kejadian 9 dan seluruh narasi alkitabiah, kita harus menyadari bahwa ciptaan adalah bagian dari umat perjanjian. Dan umat perjanjian yang menderita karena pengkhianatan manusia, baik dalam bentuk penebangan liar, krisis iklim, maupun eksploitasi alam, membuat kita layak bertanya: masihkah kita setia kepada Allah jika kita mengkhianati ciptaan yang dijanjikan keselamatan-Nya?
Inilah suara pengakuan ekoeklesiologi kita bahwa bukan hanya manusia yang memiliki kehendak dan kuasa, tetapi seluruh ciptaan berpartisipasi aktif dalam kehidupan dan pengungkapan kehendak Allah. Burung-burung yang punah, hutan yang dilenyapkan, es yang mencair, semuanya bukan hanya gejala ekologis, tetapi ratapan spiritual dari makhluk-makhluk yang disakiti oleh dosa struktural manusia.
Komitmen dan Tindakan: Menjadi Busur Pelangi Allah
Menjadi pengikut Kristus berarti kita mengingat perjanjian Allah dengan ciptaan. Maka, kita harus bertanya: bagaimana kita menghidupi perjanjian dengan ciptaan? Bukan sekadar melalui kata-kata, tetapi melalui aksi yang bersifat performatif, karena iman bukan benda statis, tetapi gerakan hidup bersama dari seluruh ciptaan.
Langkah-langkah yang mungkin dilakukan gereja hari ini:
- Liturgi Ekoeklesiologi: menyertakan doa untuk bumi, air, hewan, dan udara dalam ibadah kita.
- Ekonomi yang berkeadilan: mendukung pertanian berkelanjutan, menolak investasi pada perusakan lingkungan.
- Teologi yang kontekstual: mengajar anak-anak dan jemaat dewasa bahwa merusak alam berarti menyakiti ciptaan yang dijanjikan Allah.
- Advokasi dan keterlibatan: bergandengan dengan komunitas lokal yang menjaga hutan, sungai, dan keanekaragaman hayati.
Kita dipanggil menjadi pelangi-pelangi hidup, yaitu tanda-tanda perjanjian yang mengingatkan dunia bahwa kasih Allah tidak terbatas pada umat manusia. Bahwa dalam Yesus Kristus, semua ciptaan dijanjikan kehidupan, bukan kehancuran. Di langit yang penuh asap dan tanah yang haus oleh darah pembangunan, pelangi menjadi tanda kenangan. Tapi dalam Kristus, pelangi itu hidup, dalam tubuh-Nya yang terluka demi bumi dan dalam kebangkitan-Nya yang menjanjikan langit dan bumi baru.