Loading Now

Dosa Ekoteologis UU Minerba

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengambil langkah-langkah signifikan dalam mengembangkan kebijakan energi terbarukan. Namun, implementasi kebijakan ini, terutama melalui Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba), telah menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat. Sebagai umat Kristen, kita dipanggil untuk merefleksikan kebijakan ini melalui lensa iman kita. Artikel ini mengajak kita untuk meninjau UU Minerba dari perspektif ekoteologi, dengan pemahaman teologis dengan kepedulian terhadap lingkungan.

Tinjauan Kritis terhadap UU Minerba

Analisis Pasal-pasal Kunci

UU Minerba yang direvisi pada tahun 2020 memiliki beberapa pasal kontroversial. Pasal 169A, misalnya, memberikan jaminan perpanjangan kontrak otomatis bagi pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sementara hal ini mungkin dimaksudkan untuk menarik investasi, pasal ini berpotensi mengabaikan evaluasi dampak lingkungan dan sosial yang diperlukan.

Pasal 22 juga menjadi sorotan karena memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah pusat dalam pengelolaan sektor pertambangan, mengurangi peran pemerintah daerah. Ini menimbulkan kekhawatiran tentang pengabaian konteks lokal dalam pengambilan keputusan. Aspirasi masyarakat tidak dapat lagi disalurkan melalui pemerintah daerah, melainkan harus menuju pemerintah pusat yang lebih sulit dijangkau oleh masyarakat.

Pasal 162 juga menjadi pasal intimidatif bagi masyarakat. Pasal tersebut menyebutkan bahwa “masyarakat yang mencoba mengganggu aktivitas pertambangan dalam bentuk apapun” dapat dilaporkan oleh perusahaan dan dijatuhi pidana dengan denda hingga ratusan juta. Perusahaan dapat melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang berusaha membela diri dari kerusakan yang ditimpakan oleh perusahaan-perusahaan tambang.

Lebih lanjut, Pasal 128 ayat (1) memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri. Tanpa pengawasan yang ketat, pasal ini bisa menjadi dalih untuk eksploitasi berlebihan sumber daya alam.

Dampak UU Minerba terhadap Lingkungan dan Masyarakat

Implementasi UU Minerba ini berpotensi membawa dampak serius bagi lingkungan dan masyarakat lokal. Perluasan area pertambangan dapat mengancam keanekaragaman hayati dan merusak ekosistem yang rapuh. Tidak jarang, masyarakat adat yang telah lama menjaga kelestarian ekosistem setempat justru diusir dari tanahnya sehingga mengabaikan dan bahkan merusak hubungan ekologis yang sudah terbangun di sana.

Sebagai pengikut Kristus, kita diingatkan akan panggilan kita untuk menjadi pelindung ciptaan Tuhan (Kejadian 2:15). Kerusakan lingkungan yang mungkin timbul dari kebijakan ini bertentangan dengan mandat ini dan mengancam keberlangsungan hidup generasi mendatang.

Selain itu, dampak sosial dari UU ini tidak bisa diabaikan. Penggusuran masyarakat lokal, hilangnya mata pencaharian tradisional, dan potensi konflik sosial adalah beberapa konsekuensi yang mungkin timbul. Sebagai umat Kristen, kita dipanggil untuk membela yang lemah dan tertindas (Amsal 31:8-9), termasuk mereka yang terdampak oleh kebijakan yang tidak adil ini.

Perspektif Ekoteologi dalam Kebijakan Energi

Konsep Alam sebagai “Tubuh Tuhan”

Sallie McFague, seorang teolog ekofeminis, mengajukan gagasan revolusioner untuk memandang alam sebagai “tubuh Tuhan”. Perspektif ini mengajak kita untuk melihat alam bukan sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi, melainkan sebagai manifestasi kehadiran Tuhan di dunia.

Pandangan McFague bersesuaian dengan komitmen ekoeklesiologi kita yang melihat Gereja sebagai sebuah tubuh yang mencakup tidak hanya manusia saja melainkan seluruh ciptaan. Gereja adalah Tubuh Tuhan, yaitu tubuh yang mencakup keutuhan semesta ciptaan. Jika kita memahami bahwa Tuhan hadir bersama ciptaan-Nya, maka kebijakan-kebijakan yang berujung pada perusakan terhadap alam dapat dilihat sebagai bentuk penolakan terhadap kehadiran Tuhan sendiri. Ini memberikan dimensi spiritual yang mendalam pada upaya pelestarian lingkungan.

Leonardo Boff, teolog pembebasan asal Brasil, menekankan pentingnya keadilan ekologis dalam pemahaman kita tentang iman dan etika. Ia berpendapat bahwa krisis ekologi tidak bisa dipisahkan dari krisis keadilan sosial. Boff mengajak kita untuk memahami bahwa eksploitasi alam dan eksploitasi manusia berakar pada logika dominasi yang sama. Oleh karena itu, perjuangan untuk keadilan ekologis harus berjalan seiring dengan perjuangan untuk keadilan sosial.

Mengkritisi UU Minerba

Pandangan ini menantang kita untuk mempertanyakan kembali UU Minerba. Apakah kebijakan ini mencerminkan penghargaan terhadap alam sebagai tubuh Tuhan itu sendiri? Bagaimana kita seharusnya merumuskan kebijakan energi yang menghormati keutuhan ciptaan?

Melalui lensa ini, kita dapat memerhatikan bahwa kebijakan ini justru mempromosikan ketidakadilan bagi ciptaan, terutama bagi mereka yang paling rentan. Contohnya, aturan mengenai perpanjangan kontrak yang mengabaikan dampak sosial dan ekologisnya menandai bagaimana alam ciptaan hanya dilihat sebatas komoditas saja. Alam tidak dilihat lagi sebagai ciptaan yang sakral dan sempurna, melainkan sebagai sumber daya saja.

Berangkat dari argumen Boff, masalah perspektif terhadap alam ini akan berujung pada permasalahan sosial juga. Pengabaian terhadap alam adalah juga pengabaian terhadap manusia. Permasalahan yang sama telah terjadi di berbagai masyarakat adat seperti di Batam, Kalimantan, Sumatera, Papua, dan berbagai tempat lainnya. Komitmen ekoeklesiologi kita menuntut transisi menuju energi terbarukan tidak mengorbankan komunitas lokal atau mengabaikan konservasi hubungan ekosistem.

Gereja dan Keselamatan Kristen: Melampaui Antroposentrisme

Salah satu argumen kunci dalam ekoteologi adalah pemahaman bahwa “Gereja dan keselamatan Kristen tidak hanya mencakup manusia melainkan seluruh ciptaan”. Pandangan ini menantang paradigma antroposentris yang telah lama mendominasi teologi Kristen. Dalam Surat Roma, Paulus menulis bahwa “seluruh ciptaan menantikan dengan rindu akan saat anak-anak Allah dinyatakan” (Roma 8:19). Ayat ini mengisyaratkan bahwa rencana keselamatan Allah mencakup pemulihan seluruh ciptaan, bukan hanya umat manusia.

Pemahaman ini memiliki implikasi mendalam bagi cara kita memandang kebijakan seperti UU Minerba. Jika kita percaya bahwa keselamatan mencakup seluruh ciptaan, maka kita harus mengevaluasi dampak sebuah kebijakan terhadap seluruh ekosistem. Pandangan ini mengajak kita untuk memikirkan kembali konsep “penguasaan” atas bumi yang sering disalahartikan dari Kejadian 1:28. Alih-alih memahaminya sebagai izin untuk mengeksploitasi, kita dipanggil untuk menafsirkannya sebagai mandat untuk menjadi pelayan dan pelindung ciptaan Tuhan. Dengan demikian, kita memiliki tanggung jawab untuk menjadi suara profetis dalam isu-isu lingkungan. Ini bisa diwujudkan melalui advokasi kebijakan, edukasi jemaat, dan praktek-praktek ramah lingkungan dalam kehidupan bergereja.

Menuju Kebijakan Energi yang Berkeadilan dan Berkelanjutan

Rekomendasi Perbaikan UU Minerba

Sebagai umat Kristen yang peduli terhadap ciptaan Tuhan dan keadilan, kita dapat mengusulkan beberapa perbaikan untuk UU Minerba. Pertama, kita perlu mendorong adanya pewajiban evaluasi dampak lingkungan dan sosial secara ketat sebelum perpanjangan kontrak. Kedua, penting untuk mengembalikan partisipasi langsung masyarakat dalam pengambilan keputusan dengan menghilangkan pasal-pasal intimidatif. Hal ini untuk memastikan agar proyek-proyek pertambangan dapat melakukan praktik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Ketiga, perlindungan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal dalam proses pengembangan energi harus diperkuat. Keempat, ketentuan yang mewajibkan perusahaan pertambangan untuk melakukan restorasi ekologis pasca-tambang perlu dimasukkan. Terakhir, perlu ditetapkan batas maksimum untuk eksploitasi sumber daya alam non-terbarukan, sambil mulai menggeser prioritas kebijakan pada pengembangan energi terbarukan.

Visi Energi Terbarukan Berbasis Komunitas

Selain mengkritisi, kita juga dipanggil untuk menawarkan alternatif. Salah satu pendekatan yang sejalan dengan prinsip ekoteologi adalah pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas. Model ini melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, implementasi, dan pengelolaan energi terbarukan. Pendekatan ini tidak hanya menjamin keberlanjutan lingkungan, tetapi juga memberdayakan komunitas dan menciptakan keadilan ekonomi. Ini mencerminkan panggilan kita untuk menjadi pelayan yang baik atas ciptaan Tuhan dan mengasihi sesama kita.

Beberapa contoh proyek energi terbarukan berbasis komunitas yang bisa dikembangkan di Indonesia antara lain koperasi tenaga surya di daerah-daerah terpencil, proyek mikrohidro yang dikelola masyarakat desa, dan pengembangan biogas dari limbah pertanian dan peternakan skala kecil. Proyek-proyek semacam ini tidak hanya menyediakan energi bersih, tetapi juga menciptakan lapangan kerja, mendukung perekonomian sirkular masyarakat lokal, dan memberdayakan masyarakat untuk menjaga lingkungan.

Refleksi Ekoeklesiologi Kita dalam Advokasi Kebijakan Energi

Lembaga-lembaga yang mengaku sebagai Gereja, di sini memiliki peran penting dalam advokasi kebijakan energi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Gereja dapat mengintegrasikan isu-isu lingkungan dan keadilan ekologis dalam pengajaran dan khotbah, membantu jemaat memahami hubungan antara iman Kristen dan pemeliharaan ciptaan. Dalam ranah advokasi kebijakan, gereja dapat bersuara dalam proses pembuatan kebijakan, baik di tingkat lokal maupun nasional, menyuarakan perspektif ekoteologi dalam diskusi tentang kebijakan energi.

Lebih jauh, gereja dapat menjadi teladan dengan menerapkan praktek-praktek ramah lingkungan dalam operasional sehari-hari, seperti penggunaan energi terbarukan dan pengurangan limbah. Kemitraan dengan organisasi lingkungan dan komunitas lokal dalam upaya pelestarian lingkungan dan pengembangan energi terbarukan juga bisa menjadi langkah konkret yang diambil gereja. Terakhir, mengintegrasikan kepedulian terhadap ciptaan dalam liturgi dan kehidupan doa gereja dapat mengingatkan jemaat akan panggilan mereka sebagai pelindung ciptaan Tuhan.

UU Minerba, dalam bentuknya saat ini, belum sepenuhnya mencerminkan tanggung jawab ekologis dan keadilan sosial yang diajarkan dalam komitmen ekoeklesiologi Kristen kita. Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk menjadi suara profetis, mengadvokasi kebijakan energi yang menghormati keutuhan ciptaan Tuhan dan mempromosikan keadilan bagi semua. Pemahaman bahwa keselamatan Kristen mencakup seluruh ciptaan mengajak kita untuk memperluas visi kita tentang peran gereja dan tanggung jawab kita sebagai orang percaya. Ini bukan hanya tentang “menyelamatkan jiwa-jiwa”, tetapi juga tentang berpartisipasi dalam karya pemulihan Allah atas seluruh ciptaan.

Mari kita terus berdoa, berefleksi, dan bertindak untuk mewujudkan visi tentang dunia di mana kebutuhan energi kita terpenuhi tanpa mengorbankan planet kita atau sesama kita. Dengan demikian, kita dapat menjadi saksi yang efektif tentang kasih Allah yang merangkul seluruh ciptaan, dan berpartisipasi dalam karya-Nya memulihkan dan mendamaikan segala sesuatu di dalam Kristus.

Post Comment