Loading Now

Darah Mengalir Hijau: Logika Biner dan “Greenwashing” Perampasan Tanah Rempang

Oleh: Suar Suaka

Penindasan masih berlangsung di Pulau Rempang sampai hari ini, membawa ironi pada peringatan Hari Perdamaian Internasional tanggal 21 September lalu. Proyek “Rempang Eco-City” dengan semena-mena dibangun, ternyata tidak hanya dengan truk dan buldozer saja, tetapi juga dengan bogem dan pentung. Kekerasan terhadap kita, masyarakat, dibungkus rapi dengan stempel “Proyek Pembangunan Nasional” dan dicat hijau oleh aktor-aktor yang mengkhotbahkan keramahan pada lingkungan sambil membabat alam dan memukuli manusianya.

Untuk itu, artikel ini akan menyingkap pola pikir yang mendasari proyek nasional ini. Cukup dengan menelaah nama proyeknya saja, “Eco-City“, artikel ini akan menggarisbawahi pentingnya perspektif ekologi yang kritis dalam gerakan environmentalisme kita, agar tidak terjerembap dalam jebakan greenwashing. Pandangan ini lalu akan dikontraskan dengan komitmen keberpihakan Eko-eklesiologis Suar Suaka bagi masyarakat Rempang.

Jebakan Biner “Eco-” dan “-City

Frasa “Eco-city” tidak netral. Istilah “eco” dan “city” muncul dalam sebuah kerangka pemahaman dan relasi kuasa yang timpang. Ketimpangan ini terlahir dari pemisahan konseptual yang sama-sama terkena cacat bernama oposisi biner. Cara pikir biner ini menempatkan seakan-akan dunia ini bisa digunting dengan rapi dan dimasukkan ke dalam kategori-kategori murni yang betul-betul terpisah. Baik vs Buruk; Manusia vs Hewan; Laki-laki vs Perempuan; Normal vs Cacat; Waras vs Gila; Suci vs Berdosa/Sesat/Kafir dst. Maka teringatlah kita pada petuah Donna Haraway dalam karyanya, “A Cyborg Manifesto“, bahwa cara pandang biner seperti ini memang digunakan oleh pihak-pihak tertentu dalam rangka menguasai pihak lainnya. Termasuk di antaranya adalah paham biner tentang kota vs desa dan ekologis vs non-ekologis.

Pertama, pemisahan antara daerah kota (urban) dan desa (rural) menebalkan sebuah garis khayal yang memisahkan sebuah ekosistem dengan paham biner berbasis ekonomi dalam perspektif kepentingan manusia semata. Istilah “kota” menggambarkan sebuah bayangan tentang gedung-gedung dan kemewahan, sementara istilah “desa” biasanya menggambarkan rumah-rumah kecil dengan dinding kusam yang dikelilingi hutan dan sawah. Di kota orang-orang akan mendapatkan akses yang mudah terhadap fasilitas-fasilitas umum, sedangkan di desa akses terhadap fasilitas kesehatan, ekonomi, dan pendidikan sangat terbatas. Demikian, tanpa sadar sebenarnya istilah “desa” dan “kota” diam-diam telah menyisipkan sebuah bayangan ketimpangan ke dalam pikiran kita.

Kedua, pemisahan yang simplistik antara yang “ekologis” dan “non-ekologis” mengaburkan daya kritis kita tentang tubuh ekosistem kita yang hidup dengan proses yang begitu kompleks. Paham ini menempatkan seakan-akan sebuah tindakan dapat begitu saja dengan mudah dicap sebagai “ekologis” atau “non-ekologis”. Pembakaran hutan dicap sebagai tidak ekologis, sedangkan menanam pohon selalu dilihat ekologis. Padahal, di satu sisi, pembakaran hutan secara rutin yang dilakukan dalam konteks adat tertentu dapat menjadi aspek penting dari sebuah ekosistem, yang malah membawa kerusakan ketika dihentikan. Di sisi lain, ironisnya kerusakan tanah di ladang-ladang sawit justru dipicu oleh penanaman pohon (sawit) yang masif. Pernyataan ini tentu tidak untuk membenarkan pembakaran di semua konteks dan menyalahkan penanaman pohon di konteks yang lain. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah partikularitas sebuah konteks yang menuntut keragaman cara pikir dan daya kritis terhadap frase-frase hijau seperti “Eco-” itu sebagai sebuah label yang bekerja dalam wacana publik.

Pengaburan daya kritis ini memberi ruang bagi para penimbun harta untuk menggunakan label-label “hijau” sebagai pemulus proyek cari uang mereka. Imbuhan “Eco-” dalam “Rempang Eco-City” menjadi taktik marketing yang berselancar mengendarai ombak tren gerakan akar rumput yang betul-betul peduli terhadap kelestarian lingkungan. Inilah yang disebut taktik “greenwashing“, yang sekarang sering digunakan oleh para pemilik modal untuk memberikan kesan ramah lingkungan pada proyek-proyek perusakan lingkungannya.

Polarisasi Hijau

Istilah “Eco” dan “City” dijebak dalam kerangka pemahaman yang biner, dicat hijau dengan greenwashing, lalu dijahit rapi dalam istilah “Eco-city“. Tercium juga aroma kolonial dalam penggunaan bahasa Inggris untuk nama kota tempat tinggal warga Indonesia ini, untuk memperkuat bayang-bayang modern yang developmentalis tentang kota tersebut. Bayang-bayang ini kemudian memunculkan sebuah polarisasi dengan dua fungsi. Dalam kasus Rempang, polarisasi itu muncul sebagai narasi yang digunakan untuk mendukung proyek dan untuk melabel mereka yang melawan.

Pertama, bayangan tentang kemajuan di kota dan ilusi tentang motif pro-lingkungan menjadi sebuah idealisme tak berujung, sebuah cita-cita semu yang berfungsi sebagai pengepul dukungan masyarakat. Bayangan itu mengiming-imingi masyarakat untuk mendukung angan-angan kemajuan “Eco-City” dengan harapan agar dirinya mendapat bagian juga dari kemajuan tersebut. Dukungan ini dapat berbentuk suara dalam pemilihan kepala daerah, dukungan dana melalui aliran uang pajak kita ke proyek tersebut melalui anggaran negara, dan bentuk-bentuk dukungan lain di pembicaraan kita sehari-hari, termasuk di media sosial. Padahal, dalam sistem yang timpang ini hanya sebagian kecil saja yang sungguh-sungguh menerima keuntungan dari apa yang disuguhkan sebagai “kemajuan bersama” itu.

Hal ini jugalah yang menjadi salah satu alasan orang-orang di Rempang menolak pembangunan Rempang Eco-City. BP Batam telah meluapkan janji-janji developmentalis tentang kemajuan dan keuntungan, menjanjikan adanya “peningkatan kualitas hidup” bagi warga pulau Rempang. Namun, masyarakat Rempang paham betul bahwa proyek tersebut tidak akan menyejahterakan mereka. Keuntungan dari investasi yang disebut besarannya lebih dari 300 triliun Rupiah itu tidak akan jatuh ke tangan masyarakat, melainkan kepada para investor dan tangan-tangan lain di sekitarnya.

Penolakan ini lalu mengaktifkan fungsi kedua dari polarisasi biner tadi, yaitu bahwa para pendukung developmentalisme “Eco-City” ini dapat melabeli para oposisinya sebagai “musuh” atau “penghambat kemajuan”. Demikian yang terjadi di kasus Rempang ini, sebagaimana juga terjadi pada polemik proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Orang-orang yang menolak dilabel secara reduksionis sebagai para “penolak kemajuan”, mengabaikan berbagai alasan logis yang diajukan seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pengabaian kewajiban konstitusional negara memenuhi kebutuhan warganya, pemaksaan, intimidasi, serta kekerasan baik terhadap manusia dan lingkungannya, dll.

Kedua fungsi ini menegaskan sebuah polarisasi yang berakar pada cacat pikir yang sama, yaitu sebuah kerangka pikir yang biner. Polarisasi itu menjadi konflik vertikal antara aparatur negara yang membela kepentingan investor dengan masyarakat Rempang. Polarisasi inilah yang kemudian mewujud sebagai kekerasan. Kerangka paham yang terjebak pada logika biner mewujud pada pemisahan kota-desa dan membuka jalan pada greenwashing. Keduanya lalu menimbulkan polarisasi yang berujung pada kekerasan terhadap keterhubungan ciptaan.

Keberpihakan Ekoeklesiologi Kita

Di dunia yang masih dirundung dosa ketidakadilan ini, peringatan Hari Perdamaian Internasional setiap tanggal 21 September bukan jadi perayaan kedamaian, tapi jadi perkabungan karena peminggiran, pemiskinan, dan pengabaian. Masyarakat Rempang dimiskinkan oleh janji kemakmuran yang tidak akan pernah tercapai. Dinding media sosial kita tidak berisi kabar-kabar sejuk kedamaian, melainkan dipenuhi kabar-kabar buruk penderitaan yang diderita oleh ciptaan yang dipinggirkan.

Penindasan yang terjadi di Rempang berakar pada logika biner yang menjangkiti pikiran kita. Logika biner adalah logika kesombongan dan keserakahan yang membuahkan maut semata-mata. Kita sebagai penerus karya pemulihan dan keselamatan Allah dipanggil untuk menjauhkan diri dari paham-paham biner yang berujung pada kekerasan dan perpecahan. Tidak ada lagi pemisahan antara kota dan desa dengan segala ketimpangan yang mengikutinya. Tidak ada lagi pemisahan simplistik antara ekologis dan non-ekologis dengan greenwashing yang memanfaatkannya.

Kerangka paham yang biner ini merupakan sebuah pengulangan dosa Manusia ketika memakan buah terlarang di Taman Eden (Kejadian 3), yaitu ketika Manusia menganggap diri mampu memecah realitas secara simplistik kepada hanya dua sisi saja, yaitu: antara Yang Baik dan Yang Jahat.

Tidak ada tempat bagi kerangka paham yang biner dalam kerajaan Allah karena semua telah dipanggil menjadi satu kesatuan dalam Tubuh Kristus, sebagaimana telah tertulis:

"... tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus." (Galatia 3:8) 

Demikian Allah telah memulihkan seluruh ciptaan dari dosa mula-mula Manusia, yaitu kerangka paham yang biner.


Post Comment