Loading Now

Akar Bersama: Menemukan Keterhubungan Seluruh Ciptaan dalam Akar-akar Tradisi Kita

Oleh: Suar Suaka

Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus,

Pernahkah kita merenungkan betapa indahnya ciptaan Tuhan? Dari gunung-gunung yang menjulang tinggi hingga lautan yang dalam, dari hutan yang rimbun hingga padang rumput yang luas, semuanya berbicara tentang keagungan Sang Pencipta. Namun, seringkali kita lupa bahwa kita adalah bagian dari ciptaan yang indah ini, dan bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk merawat dan memeliharanya.

Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa sejak awal penciptaan, manusia telah dipercayakan untuk memelihara bumi. Dalam Kejadian 2:15, kita membaca: “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” Ini bukan hanya sebuah tugas biasa, melainkan sebuah panggilan suci.

Menariknya, jika kita melihat tradisi leluhur kita di Indonesia, kita akan menemukan kearifan yang serupa. Banyak suku di negeri ini memiliki ritual dan praktik yang menunjukkan penghormatan mendalam terhadap alam. Misalnya, suku Dayak di Kalimantan memiliki tradisi “Tana’ Ulen”, di mana mereka menjaga area hutan tertentu sebagai ‘tanah terlarang’ yang tidak boleh digunakan demi kelestarian daerah sekitarnya.

Bukankah ini mengingatkan kita pada konsep “sabat” dalam Alkitab? Dalam Imamat 25:4, Tuhan memerintahkan: “Tetapi pada tahun yang ketujuh haruslah ada sabat, masa perhentian penuh bagi tanah itu, suatu sabat bagi TUHAN.” Ini menunjukkan bahwa baik dalam tradisi Kristen maupun dalam tradisi lokal, ada pengakuan yang sama akan pentingnya untuk memberikan waktu dan tempat khusus bagi alam ciptaan untuk memulihkan diri.

Sayangnya, di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, kita sering melupakan hubungan yang kudus dengan alam ini. Kita terjebak dalam pola pikir yang memisahkan kita dari ciptaan lain, seolah-olah kita bukan bagian darinya. Padahal, Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa kita adalah bagian dari “seluruh ciptaan” yang merindukan pembebasan (Roma 8:22).

Lalu, bagaimana kita bisa merajut kembali hubungan kudus ini? Jawabannya mungkin ada dalam kearifan tradisional yang telah lama kita abaikan. Misalnya, konsep “Tri Hita Karana” dari Bali mengajarkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Bukankah ini sejalan dengan perintah Tuhan untuk mengasihi Allah, sesama, dan memelihara ciptaan?

Yesus sendiri sering menggunakan metafora dari alam dalam ajaran-Nya. Dia berbicara tentang biji sesawi, tentang burung-burung di udara, dan tentang bunga bakung di padang. Ini menunjukkan bahwa dalam pandangan-Nya, alam bukanlah sesuatu yang terpisah dari kehidupan rohani kita, melainkan bagian integral yang justru membentuk kehidupan rohani kita.

Saudara-saudari yang dikasihi, mari kita kembali ke akar-akar tradisi kita, baik sebagai orang Kristen maupun sebagai bagian dari budaya Indonesia yang kaya. Di sana, kita akan menemukan kearifan yang dapat membantu kita memulihkan hubungan kita dengan seluruh ciptaan.

Ketika kita menghargai dan belajar dari praktik-praktik tradisional yang berkelanjutan, kita sebenarnya sedang menjalankan mandat ilahi untuk menjadi pemelihara ciptaan. Ingatlah, ketika kita merawat alam, kita tidak hanya menjaga warisan untuk generasi mendatang, tetapi juga menghormati Sang Pencipta yang telah mempercayakan bumi ini kepada kita.

Mari Berdoa

Tuhan Yang Maha Pengasih, terima kasih atas keindahan ciptaan-Mu. Bukalah mata kami untuk melihat kearifan dalam tradisi leluhur kami yang sejalan dengan firman-Mu. Bantulah kami untuk merajut kembali hubungan kudus dengan seluruh ciptaan, agar kami dapat menjadi pemelihara yang setia atas bumi ini. Dalam nama Yesus kami berdoa, Amin.

Post Comment