Apa Arti Sebuah Nama? Sebuah Kritik Terhadap “Kristenisasi Nama” di Timor Barat
Oleh: Jear N. D. K. Nenohai
Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada
Pada 27 Desember 2021, dua hari setelah acara natal, di Gereja asal saya di kota Soe, Nusa Tenggara Timur, berlangsunglah sakramen pembaptisan anak. Pembacaan nama anak-anak pada pembaptisan menjadi momen yang sangat menggembirakan, terutama bila orang mendengar nama anak-anak yang unik. Saya sering mendengar nama-nama depan yang unik seperti Christiano Ronaldo, Mark Marques, Lionel, bahkan Sophia Latjuba. Orang-orang yang hadir di Gereja kemudian mengeluarkan seruan kekaguman dan keheranan meresponi nama-nama asing yang dibawa dari luar ke tanah Timor itu, dan direkatkan pada keluarga mereka. Tentu saja, di samping nama-nama ‘luar’ tadi, ada juga anak-anak lain yang dibaptis dengan nama yang “Alkitabiah.” Namun, tidak ada satupun anak yang saat itu memakai nama-nama lokal seperti Tetuf, Afnekat, Hari, Manekat, Mnune, Rareko, dan seterusnya.
Sejak saat itu, saya kerap bertanya mengapa nama-nama berbahasa daerah kurang diminati oleh orang-orang di Timor. Gejala ini terjadi juga di tempat-tempat lain di Nusa Tenggara Timur seperti Rote, Sabu, dan Alor. Saya kemudian merenungkan mengapa nama-nama Alkitab dan nama-nama orang terkenal jauh lebih diminati daripada nama berbahasa daerah.
Menurut saya, pengaruh unsur Kristen yang kuat dalam pemberian nama melahirkan semacam “kristenisasi nama.” Istilah tersebut adalah gerakan para misionaris untuk menggunakan teks Alkitab sebagai rujukan utama pemberian nama bagi jemaat baru mereka di antara masyarakat lokal. Sebagai dampaknya, banyak orang di Timor yang meninggalkan unsur bahasa daerah dalam pemberian nama mereka. Otomatis, cara pemberian nama semacam itu berakibat pada memudarnya kosmologi nama dalam keyakinan orang di Timor Barat.
Tulisan ini mengkritik gerakan “kristenisasi nama” ini dan ingin menggarisbawahi kembali pentingnya kosmologi nama bagi komunitas lokal di Timor. Bagi saya, tekanan pada aspek kosmologis dalam penamaan penting untuk diperhatikan sebagai cara untuk mengembalikan kosmologi kolektif orang-orang Timor. Sebagai langkah konkrit, saya menyebut gerakan untuk mengembalikan kosmologi nama sebagai de-otorisasi Alkitab dalam penamaan. Apa itu de-otorisasi Alkitab dalam penamaan? Dan apa kaitannya dengan kosmologi nama serta pengaruhnya pada kristenisasi nama? Pertanyaan tersebut akan saya jawab secara berurutan pada bagian-bagian selanjutnya.
Kosmologi Nama
Nama lengkap saya adalah Jear Niklas Doming Karniatu Nenohai. Karena saya lahir pada tanggal 1 Januari, maka orang tua saya menamai saya Jear, yang diambil dari kata bahasa Inggris “Year” yang berarti “tahun.” Penamaan ini juga menghubungkan saya dengan nama kedua orang tua saya yang juga dimulai dari huruf “J”. Nama Niklas dan Doming diambil dari nama kedua kakek saya. Kata Niklas diambil dari nama ayahnya ayah saya, sedangkan Dominggus adalah nama warisan dari ayahnya Ibu saya. Kemudian, Karniatu adalah akronim dari “Karunia Tuhan,” dan akhirnya Nenohai adalah nama marga saya. Tidak sekadar panggilan, nama saya merupakan sebuah rangkaian cerita tentang keterlibatan begitu banyak pihak yang tersimpul pada kehidupan saya sekarang ini.
Keterhubungan antara nama saya dengan fenomena kelahiran serta kedua kakek saya inilah yang saya sebut sebagai nama kosmologis. Istilah nama kosmologis yang saya pakai di sini maksudnya adalah cara orang-orang Timor Barat dalam mendasarkan kemenyatuan antara dunia nyata dan tidak nyata serta dunia manusia dan non manusia pada aksi pemberian nama. Seperti dalam pengalaman saya, melalui nama yang kosmologis ini, keberadaan kedua kakek saya di dunia tak nyata dan saya yang sekarang berada di dunia nyata ini melebur menjadi satu. Melalui kosmologi nama, batas-batas ruang antara dunia manusia dan orang mati seolah tidak berlaku lagi. Kedua kakek saya yang sudah tiada itu tidak benar-benar hilang. Keberadaan dan kualitas mereka masih hidup dalam diri saya saat ini melalui rajutan kosmologis yang dijahit dengan nama.
Kosmologi nama juga umum dipahami oleh kebanyakan orang Timor Barat. Nama tidak hanya terhubung pada leluhur dan fenomena melainkan juga mengandung unsur penting, yakni kemenyatuan antara seluruh ciptaan, baik yang manusia maupun yang non-manusia. Pohon, batu, air, dan unsur lainnya turut dipersatukan dalam nama. Sebagai contoh, kemenyatuan ini terlihat pada nama marga/klan dan nama daerah di Timor Barat.
Nama-nama marga orang Timor Barat menceritakan hubungan (intersubjektif) antara orang Timor dengan pihak-pihak non-manusia lain di sekitarnya. Misalnya, orang-orang marga Lete memiliki keyakinan bahwa orang-orang marga mereka berasal dari pohon Lete (dikenal juga dengan nama pohon Pule atau Pulai, dengan nama Latin alstonia scholaris). Ada juga seorang teman saya yang memiliki marga Liuksae, yang dari bahasa Timor menunjuk pada sejenis ular sanca. Dari sana marga Liuksae mempercayai bahwa mereka memiliki relasi yang kuat dengan ular. Marga saya sendiri juga memiliki cerita yang serupa. Nama “Nenohai” mempunyai kata dasar Neno yang berarti Matahari. Kami, marga Neno, merupakan anak-anak keturunan Matahari.
Penggeseran Otoritas dan Implikasinya Pada Kosmologi Nama
Cerita tentang jejak kosmologi nama dalam keluarga saya dan orang-orang di Timor Barat pada umumnya, mencerminkan bagaimana kearifan lokal tentang kosmologi sangat berpengaruh pada pemberian nama. Akan tetapi, meski terdapat jejak kosmologi pada nama saya, keluarga saya tetap tidak memanfaatkan unsur kosmologi yang lebih kuat dengan mengandalkan bahasa daerah pada saya. Nama saya mencerminkan kombinasi dari nama kedua kakek saya yang sangat Kristen (Nikolas dan Dominggus) dan bahasa inggris. Di tengah nama lengkap saya juga terdapat kata Karniatu, yang berarti Karunia Tuhan. Oleh karena itu, saya meyakini bahwa bentuk penamaan saya tidak melibatkan kosmologi nama secara penuh.
Memudarnya kosmologi nama adalah pengaruh langsung dari misi Kristen yang dikerjakan oleh para misionaris. Jejak tersebut saya temukan dalam karya Peter Middelkoop berjudul Atoni Pah Meto (1982). Dalam bukunya, Middelkoop menuliskan bahwa pergantian nama adalah salah satu bagian dari penginjilan yang ia lakukan. Saat membaptis orang Timor ke agama kristen, Middelkoop melakukan perubahan nama, sambil melarang penggunaan nama yang berunsur bahasa Timor. Middelkoop kemudian mengganti nama asli orang Timor menjadi nama-nama yang diambil dari Alkitab seperti Samuel, Yefta, Yohanis, dan seterusnya. Middelkoop memercayai bahwa penggantian nama adalah bagian penting dari komitmen kekristenan, dan oleh karena itu pergantian nama dari nama-nama lokal ke nama-nama Alkitab adalah bagian dari transformasi kepercayaan masyarakat lokal pada Yesus.
Middelkoop menghilangkan unsur kemenyatuan manusia dan non-manusia dalam penamaan orang-orang Timor terhadap unsur-unsur non-manusia di lingkungan mereka. Sebagai contoh, orang-orang Mollo memercayai Gunung Mutis sebagai asal mula orang Mollo. Middelkoop kemudian mengatakan bahwa orang-orang Mollo tidak boleh lagi memercayai gunung Mutis sebagai asal mula kedatangan orang Mollo. Middelkoop kemudian mengatakan pada orang Mollo yang sudah ia “kristenkan” agar menyebut gunung Mutis sebagai Golgota untuk mengasosiasikan gunung Mutis dengan peristiwa penyaliban Yesus. Akibatnya, Middelkoop memutus kosmologi orang-orang Mollo tentang gunung Mutis sebagai asal mula mereka dan menggantikannya dengan ide-ide kekristenan yang Middelkoop ambil dari Alkitab.
Cara Middelkoop mengubah nama-nama asli orang Timor beresonansi dengan gerakan penginjilan yang terjadi juga di Asia dan Afrika. Teolog asia bernama Choan Seng Song, dalam bukunya Tells Us Our Name: Story Theology from Asia (2009) menulis bagaimana para misionaris Eropa melakukan pergantian nama sebagai bagian dari misi Kristen. Song mempercayai bahwa nama bukan sekedar identitas. Dalam nama terdapat unsur kuasa yang kuat. Pemberian nama adalah pernyataan kuasa dari si pemberi nama terhadap yang dinamai. Penggantian nama adalah cara para misionaris mengendalikan cara berpikir dan tindakan komunitas yang menjadi target kristenisasi mereka serta menjauhkan komunitas tersebut dari budaya lokal mereka sendiri.
Saya melihat bahwa klaim Choan Seng Song tampak dalam kerja-kerja Middelkoop. Perubahan nama yang dilakukan Middelkoop menjauhkan masyarakat Timor dari kosmologi mereka sendiri. Orang-orang Timor meninggalkan kebiasaan memberi nama berdasarkan kosmologi mereka sendiri dan menjadikan Alkitab sebagai sumber nama. Saya menyebut pengaruh gerakan Middelkoop sebagai penggeseran otoritas dari kosmologi lokal ke teologi. Pergeseran otoritas yang saya maksud di sini adalah gerakan para misionaris ketika menetapkan Alkitab sebagai sumber otoritas tunggal atas pemberian nama masyarakat lokal. Unsur kosmologi lokal yang dipakai komunitas sebagai sumber nama direndahkan bahkan dimusnahkan. Middelkoop menjadikan Alkitab sebagai otoritas tunggal bagi sumber nama orang-orang Timor dan kemudian mengeliminasi kosmologi dengan cara mengkategorikan kosmologi lokal sebagai unsur yang bertentangan dengan ajaran Kristen.
Lebih lanjut, perubahan nama berpengaruh langsung pada relasi orang Timor dengan sesama dan lingkungan di mana mereka hidup. Sebagai contoh, Merry Kolimon, dalam bukunya A Theology of Empowerment (2003), menulis bahwa penerjemahan Uis Neno (sesosok pribadi yang dikhususkan dalam kepercayaan masyarakat lokal di sana) untuk menunjuk kepada Yesus berakibat pada tumbuhnya patriarkisme dalam masyarakat Timor Barat. Penerjemahan Uis Neno sebagai Yesus memberikan otoritas berlebih pada kaum laki-laki untuk lebih berkuasa pada perempuan. Akibatnya, konsep keseimbangan relasi perempuan dan laki-laki dalam kosmologi orang Timor melemah karena figur Yesus sebagai seorang laki-laki membuat laki-laki merasa lebih berkuasa atas perempuan.
Sampai di sini, saya meyakini bahwa memudarnya kosmologi nama orang di Timor Barat adalah salah satu dampak dari penggeseran otoritas nama yang dilakukan Middelkoop. Orang-orang di Timor saat ini tidak lagi memerhatikan kosmologi mereka dalam penamaannya. Bentuk konkretnya adalah berkurangnya penggunaan bahasa lokal dalam penamaan orang-orang di Timor. Peletakan Alkitab sebagai otoritas tunggal mengakibatkan orang-orang di Timor, terutama komunitas Kristen, meninggalkan kosmologi orang Timor Barat sebagai sumber nama di masa sekarang.
De-Otorisasi Alkitab dalam Penamaan
Sampai di sini, saya meyakini bahwa penggunaan kosmologi sebagai sumber nama penting untuk diaktifkan kembali. Kosmologi nama orang Timor Barat adalah sumber penting untuk menghidupkan kembali ajaran dan kearifan lokal yang terkandung dalam sebuah nama. Namun, saya tidak berpendapat bahwa nama-nama Alkitab tidak boleh digunakan lagi, tetapi bahwa sikap untuk menjadikan teks Alkitab sebagai satu-satunya otoritas penamaan berakibat langsung pada memudarnya kosmologi lokal orang Timor. Bagi saya, kosmologi orang Timor juga adalah sumber yang setara dengan nama-nama dalam Alkitab. Saya menyebutnya sebagai de-otorisasi Alkitab dalam penamaan.
De-otorisasi Alkitab dalam pemberian nama yang saya maksud di sini adalah sebuah gerakan untuk menjadikan pengalaman dan pandangan si pemberi nama, bukan Alkitab saja, sebagai otoritas tertinggi dalam memberi nama bagi komunitas Kristen. Berbeda dari pandangan misionaris seperti Middelkoop yang menempatkan Alkitab sebagai satu-satunya sumber pemberian nama, De-otorisasi Alkitab dalam penamaan melihat Alkitab tidak sebagai otoritas yang tunggal dalam pemberian nama. Pada titik ini, kita membuka ruang bagi berbagai sumber nama, sekaligus melampaui model pemberian nama misionaris yang merendahkan kosmologi orang Timor Barat.
Sesungguhnya, praktik de-otorisasi Alkitab ini sudah dan sedang terus terjadi pada orang-orang di Timor Barat. Alkitab memang sudah tidak lagi menjadi satu-satunya sumber penamaan di sana. Seperti pada contoh acara pembaptisan yang saya ceritakan di awal tulisan ini, orang-orang di Timor saat ini sudah memperluas sumber nama pada berbagai teks di luar Alkitab seperti nama-nama artis, pemain bola, dan orang-orang terkenal lainnya. Dalam keluarga saya sendiri, banyak sepupu dan keponakan saya juga memiliki nama yang sama dengan figur publik.
Namun saya ingin memperluas gerakan tersebut untuk juga mengembalikan kosmologi nama yang berakar pada kepercayaan lokal yang telah ada sejak sebelum masuknya misi Kristen di Timor. Bagi saya, de-otorisasi Alkitab dalam penamaan menunjukkan adanya kesempatan untuk mengikutsertakan kembali kosmologi orang Timor sebagai sumber penamaan.
Saya tidak melihat de-otorisasi Alkitab sebagai sebuah permusuhan terhadap Alkitab. Melainkan, de-otorisasi Alkitab dalam penamaan ini merupakan sebuah undangan untuk kita dapat melampaui pandangan para misionaris yang melihat kosmologi orang Timor dan kerangka kekristenan sebagai dua hal yang bertentangan. Nama-nama asli orang Timor perlu dilihat sebagai nama yang memiliki kekuatan yang sama dengan nama-nama Alkitab dan nama-nama “luar” lainnya. Nama lokal orang Timor yang memiliki keterikatan kosmologis yang kuat dengan lingkungan di daerahnya itu tidak boleh lagi ditundukkan sebagai yang inferior di bawah kategori teologi para misionaris. Nama-nama lokal harus ditempatkan secara setara dalam pemberian nama.
Sebagai kesimpulan, saya menawarkan de-otorisasi pemberian nama sebagai kerangka berpikir untuk dapat memuliakan nama-nama Alkitab tanpa merendahkan kosmologi penamaan lokal. Pertanyaan penting di sini adalah apakah ketika orang tidak memakai sumber kosmologi lokal sebagai pemberian nama maka mereka sedang merendahkan kosmologi lokalnya? Tentu tidak. Saya menawarkan de-otorisasi nama agar kita meninggalkan cara misionaris yang menempatkan Alkitab sebagai satu-satunya otoritas penamaan, demi agenda pelenyapan kosmologi lokal. De-otorisasi Alkitab dalam penamaan anak-anak kita memberi sebuah ruang bersama bagi berbagai sumber, termasuk beragam kosmologi lokal berbagai komunitas adat, dalam penamaan yang otoritatif bagi komunitas kristen. Akhir kata, kita perlu belajar untuk terus memuliakan semua sumber penamaan tanpa merendahkan yang lain.