Loading Now

Pesan Subversif Jeda: Menguduskan Sabat dan Membebaskan diri dari Mitos Produktivitas

Oleh: Suar Suaka

Logika keberlanjutan dalam gerakan lingkungan memiliki semangat yang sama dengan perintah Allah untuk mengingat dan menguduskan hari Sabat (Keluaran 20:8-11). Pengudusan hari Sabat mensyaratkan sebuah jeda bukan hanya bagi manusia saja, melainkan juga bagi seluruh ciptaan. Namun, dunia hari ini tengah diperbudak oleh mitos produktivitas. Dalam pemujaan terhadap kekayaan inilah, jeda menjadi kabar baik (baca: “Injil”) bagi umat Allah dan kabar buruk bagi para penguasa. Untuk itu, penting bagi kita sebagai umat Tuhan untuk menggali kembali kudusnya hari Sabat, yaitu pentingnya jeda bagi kehidupan kita.

Mitos Maut “Produktivitas”

Cara hidup masyarakat dunia hari ini yang terpaku pada pengumpulan kekayaan telah membius kita dengan sebuah mitos bernama “produktivitas.” Tidak sedikit kita melihat ketika martabat seseorang yang kita kasihi dinilai hanya sebatas uang dan angka keuntungan yang dia hasilkan. “Waktu adalah uang” jadi mantra yang diulang-ulang oleh mereka yang sudah terbius oleh mitos produktivitas ini, seakan-akan manusia yang tidak menghasilkan uang adalah mesin yang rusak.

Padahal, sejak abad pertama Paulus telah memperingatkan bahwa “akar kejahatan ialah cinta uang” (1 Timotius 6:10). Sayangnya, delapan belas abad kemudian, kapitalisme industri mencuat dan mendominasi sistem perekonomian kita. Dalam sistem ini, seluruh ciptaan dilihat sebatas alat industri penghasil harta dan keuntungan. Dibagi berdasarkan “kebergunaannya,” manusia dilabel antara sebagai pekerja atau sebagai pengangguran, sedang ciptaan lain dilabel antara sebagai sumber daya atau hama. Demikian peringatan Paulus menjadi semakin nyata pada hari ini, di mana hidup seluruh ciptaan diukur sebatas angka di atas kertas, dinilai hanya dalam bahasa untung-rugi saja.

Maut; ujung dari sistem ini adalah maut. Kata “ujung” di sini secara khusus menunjuk kepada mereka yang berdiri di pinggiran sistem, yang berjuang di tengah pemiskinan dan perusakan daya hidup agar mereka tidak terperosok ke jurang maut. Berita baru-baru ini tentang pengendara ojek online yang wafat karena kekurangan uang untuk makan menjadi sebuah potret mengerikan tangan besi kapitalisme yang menentukan nilai hidup segenap ciptaan dari angka-angka khayal di rekening. Demikian juga rekaman sekeluarga monyet hutan yang bergerombol lari dari tempat tinggal mereka yang digusur oleh proyek-proyek manusia. Sistem dosa yang menjebak dengan ilusi harta dan kekayaan ini sesungguhnya berujung pada kematian dan rusaknya hubungan seluruh ciptaan.

Pesan Subversif Sabat dalam Logika Keberlanjutan

Namun, logika keberlanjutan berkebalikan dengan mitos produktivitas. Acuan utama dari logika keberlanjutan adalah manfaat bagi semua, bukan keuntungan bagi sebagian kecil (benefit for all, not profit for the few). Hutan dan lautan tidak akan dilihat semata-mata sebagai sumber daya untuk dimanfaatkan, melainkan sebagai tubuh-tubuh kehidupan yang harus dihormati. Hewan dan tanaman bukan hanya sumber makanan yang harus dimaksimalkan demi manusia, melainkan sebagai pribadi-pribadi ciptaan yang juga mendambakan cinta kasih Allah dalam hidup sehari-hari. Logika keberlanjutan melihat kehidupan sebagai yang sakral, yang dikuduskan.

Dalam konteks inilah kita dapat memahami kembali perintah Allah untuk mengingat dan menguduskan Sabat sebagai pengingat akan keutamaan dan kekudusan kehidupan. Demikian tertulis:

"Ingat dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya." (Keluaran 20:8-11)

Oleh karena kontras dalam alur pikiran keduanya, jeda menjadi musuh besar mitos produktivitas. Ada dua alasan jeda menjadi musuh mitos produktivitas. Pertama, orang-orang yang dimarjinalkan oleh sistem dosa kapitalisme itu tidak akan mau merisikokan penghidupannya untuk melakukan jeda. Contohnya adalah aturan tahun Sabat Tuhan yang mengutamakan kehidupan dan pola pertanian modern yang mengutamakan produktivitas. Bagi pertanian modern, lahan harus selalu dipekerjakan setiap waktu tanpa jeda. Setelah panen, tanah kembali dipaksa bekerja lagi dengan pupuk-pupuk kimia untuk menumbuhkan benih-benih yang baru. Sebaliknya, Allah memerintahkan adanya tahun-tahun jeda bagi tanah, di mana setiap tujuh tahun (Imamat 25). Petani-petani kita hari ini tentu tidak akan mau memberi jeda bagi tanah setiap tujuh tahun, karena kebutuhan sehari-hari yang semakin mencekik akan terus memaksa mereka untuk terus meraup keuntungan sebanyak mungkin, sesering mungkin.

Kedua, orang-orang yang diuntungkan oleh sistem dosa tersebut akan dirugikan oleh jeda. Contohnya, aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi yang dilakukan sejak awal masa-masa industri sebenarnya adalah sebuah jeda yang dilakukan secara sengaja oleh pekerja untuk menyampaikan pesan bagi para penguasanya. Namun, ketika jeda itu dilakukan, terjadi sebuah kerugian bagi mereka yang melihat produktivitas sebagai yang terutama. Kerugian terutama bukan dirasakan oleh para pekerja, melainkan oleh para pemilik modal tersebut. Para pekerja mendapat istirahat karena dilepaskan dari beban kerja, alam mendapatkan istirahat dari beban produksi “sumber daya,” hanya pemilik modal yang mengalami kerugian dalam bentuk keuntungan yang tidak terserap. Dalam hal ini, kita dapat memahami bagaimana jeda menjadi musuh bagi mereka yang diuntungkan oleh sistem yang tidak adil ini.

Dari kedua contoh tersebut, kita juga dapat melihat bahwa pengudusan Sabat tidak harus dilihat sebagai sebuah aturan yang kaku, melainkan sebagai pesan yang perlu disesuaikan dengan masing-masing konteks. Bagi tanah yang dipekerjakan dalam pertanian, jeda adalah perhentian dari aktivitas pertanian. Bagi manusia yang dipekerjakan dalam pabrik, jeda adalah perhentian dari aktivitas produksi pabrik. Bagi kita yang dipekerjakan sebagai pelajar, sebagai pelayan Gereja, dan sebagainya, kita akan memiliki bentuk-bentuk Sabat yang berbeda. Pesan utamanya adalah pengutamaan hidup dari pada keuntungan. Dari sini kita dapat memahami berbagai bentuk Sabat yang dapat kita terapkan pada berbagai aspek hidup kita.

Refleksi Ekoeklesiologi Kita

Gereja dan pesan keselamatan Allah tidak terbatas pada manusia saja. Di tengah konteks kerusakan Bumi yang menyeluruh ini, kabar baik keselamatan Allah perlu menjangkau Bumi secara utuh. Jeda yang diperintahkan Allah merupakan bagian dari kabar keselamatan yang semakin relevan bagi kehidupan kita yang terus dipaksa bekerja oleh sistem yang berujung maut bagi yang dimarjinalkan ini. Dalam logika keberlanjutan ini, Sabat tidak dilihat sebagai perintah yang membebankan, melainkan kabar baik kelegaan.

Dalam pengudusan Sabat, manusia tidak memperbudak tanah dalam pertanian yang tanpa henti. Dalam pengudusan Sabat, pemilik modal tidak memperbudak pekerjanya dalam pekerjaan yang tanpa jeda. Risiko yang ditimpakan pada mereka yang dimarjinalkan dan dimiskinkan oleh sistem dan kerugian yang ditimpakan pada mereka yang diuntungkan oleh sistem adalah tanda bahwa sistem kapitalisme kita adalah sistem dosa. Dalam refleksi ekoeklesiologi kita, jeda Sabat menyampaikan sebuah pesan subversif, sebuah perlawanan terhadap perbudakan seluruh ciptaan.

1 comment

Post Comment