Loading Now

Menghayati Udara Bersih untuk Langit Biru dan Nafas Kehidupan

Oleh: Suar Suaka

Rekan-rekan yang terkasih,

Sejak tahun 2020, tanggal 7 September telah ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Internasional Udara Bersih untuk langit biru (International Day of Clean Air for blue skies). Hari peringatan ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya kita untuk memerhatikan kualitas udara di lingkungan tempat tinggal kita. Lantas bagaimana kita turut menghayati peringatan ini dalam bahasa iman dan komitmen ekoeklesiologi kita?

Rusaknya kualitas udara bukan hanya permasalahan “duniawi” saja, melainkan juga pertanda akan rusaknya hidup kerohanian kita sebagai sebuah Gereja. Sebagai contoh, ketika kita berbicara tentang udara bersih di konteks Indonesia, tentu pikiran kita langsung terbawa kepada pekatnya kabut asap di kota-kota besar seperti Jakarta, di mana langitnya kelabu di siang hari dan tak berbintang di malam harinya. Bahkan, tidak hanya di Jakarta, banyak juga daerah-daerah lain yang menghadapi permasalahan yang sama. Banyak desa-desa di sekitar pabrik dan daerah tambang yang udaranya teracuni oleh berbagai jenis kotoran. Coba kita renungkan dan ingat-ingat kembali, berapa banyak orang di sekitar kita yang terkena penyakit dan bahkan mati oleh karena penyakit pernafasan?

Udara yang telah rusak ini sungguh-sungguh adalah Nafas Kematian. Nafas Kematian yang melayang-layang di udara ini berkebalikan dengan Nafas Kehidupan yang dihembuskan oleh Tuhan Allah kepada kita sebagai ciptaan-Nya (Kejadian 2:7). Nafas Kematian dalam udara yang kotor ini merupakan hasil dari dosa sistemik yang mendahulukan keuntungan dan pengumpulan harta daripada kudusnya setiap nyawa dan kehidupan.

Dalam peringatan kita akan udara bersih, kita harus membawa kesadaran kita bahwa Gereja tidak berhenti pada bangunan dan tidak terbatas pada manusia saja. Gereja adalah hubungan yang terbangun antara setiap kita dengan seluruh ciptaan lainnya. Perilaku dan kebijakan yang bersandar sepenuh-penuhnya pada pembakaran batu bara, minyak bumi, dan gas bumi dalam berbagai bentuknya itu merupakan hembusan Nafas Kematian yang secara tegas muncul sebagai pemutarbalikan dari Nafas Kehidupan yang dihembuskan Tuhan Allah bagi kita.

Oleh karena itu, mari kita merenungkan bagaimana kita selama ini bergantung pada proses-proses yang merusak dan mengotori udara kita. Mari kita merefleksikan kembali mengapa kita menggantungkan hidup kita pada perusakan Nafas Hidup yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Mari kita mulai menolak dosa-dosa yang selama ini tidak kita sadari telah merusak Nafas Kehidupan Allah, sambil memberitakan kabar baik pemulihan dan keselamatan dari Allah tentang Gereja kita yang mencakup seluruh ciptaan.

Mari Berdoa

Ya Tuhan, kami bersyukur atas Nafas Kehidupan yang telah Engkau anugerahkan kepada kami. Ajar kami untuk membawa kesadaran ini kepada sebuah kebiasaan hidup yang lebih baik, yang menolak pencemaran udara dan yang membawa pemulihan bagi seluruh ciptaan.

Amin.

Post Comment