Loading Now

Merah Amarah Sungai Nil: Memaknai Ulang Tulah Pertama melalui Lensa Eko-Eklesiologi

Oleh: Suar Suaka

Pernahkah Anda menyadari peran Sungai Nil sebagai aktivis? Mungkin ini terdengar aneh, tapi mari kita lihat kembali kisah tulah di Mesir dengan kacamata baru. Bagaimana jika air Sungai Nil yang berubah menjadi darah di Mesir bukan hanya hukuman Tuhan, tapi juga sebuah bentuk protes dari alam itu sendiri? Dalam era krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini, mungkin sudah waktunya kita memaknai kembali kisah tentang tulah Allah bagi Mesir ini dan menemukan makna baru yang relevan dengan konteks kita hari ini.

Memahami Ulang Tulah Mesir

Kita semua familiar dengan kisah Musa dan tulah di Mesir. Tuhan menggunakan berbagai bencana untuk membebaskan umat Israel dari perbudakan. Salah satu tulah yang paling diingat adalah ketika air Sungai Nil berubah menjadi darah. Selama ini, kita mungkin melihat Sungai Nil hanya sebagai alat pasif yang digunakan oleh Tuhan. Tapi, bagaimana jika kita melihatnya dari sudut pandang yang berbeda?

Biasanya, pemaknaan teologis kita telah menekankan aspek hukuman ilahi dalam kisah ini. Dalam pemaknaan sempit itu Tuhan, melalui Musa, menghukum Firaun dan rakyat Mesir atas kekerasan hati mereka dan penindasan terhadap orang Israel. Namun, pemahaman ini sering kali mengabaikan berbagai tokoh lain yang terlibat di dalam kisah tersebut. Bagaimana jika kita mulai mempertimbangkan peran aktif alam dalam drama keselamatan ini?

Sungai Nil sebagai Agen Aktif

Dalam pemahaman baru ini, Sungai Nil bukan hanya sekedar air yang mengalir saja. Ia adalah entitas hidup yang memiliki “suara” sendiri. Ketika Mesir melakukan ketidakadilan, maka Sungai Nil bereaksi. Perubahan airnya menjadi darah merupakan sebuah bentuk protes, seolah-olah sungai itu sendiri menangis darah atas penderitaan yang terjadi terhadap para korban perbudakan Mesir.

Konsep ini mungkin terdengar terlalu radikal bagi beberapa orang, tetapi sebenarnya pandangan seperti ini memiliki akarnya juga dalam tradisi Alkitab. Dalam Kitab Mazmur, kita sering menemukan gambaran alam yang memuji Tuhan (Mazmur 96:11-12, 98:7-8). Jika alam bisa menaikkan pujian, mengapa mereka tidak bisa melancarkan protes? Dalam Kitab Roma, Paulus berbicara tentang seluruh ciptaan yang “mengerang” (Roma 8:22). Mungkinkah “darah” Sungai Nil adalah salah satu bentuk dari “erangan” ini?

Darah sebagai Simbol Protes

Darah selalu memiliki makna yang kuat dalam Alkitab. Ia melambangkan kehidupan, tetapi juga kematian dan pengorbanan. Dalam konteks tulah ini, darah Sungai Nil bisa diartikan sebagai teriakan alam yang menyuarakan penderitaan dan ketidakadilan. Ini adalah peringatan keras bahwa eksploitasi terhadap manusia dan alam akan membawa konsekuensi yang mengerikan.

Darah ini juga bisa dilihat sebagai panggilan pertobatan. Dalam tradisi Yahudi-Kristen, darah sering dikaitkan dengan penebusan dan pemurnian. Darah Sungai Nil adalah panggilan dan peringatan untuk Mesir – dan bagi kita hari ini – untuk bertobat dari cara-cara yang merusak dan kembali ke jalan yang lebih harmonis dengan alam dan sesama manusia.

Implikasi Teologis

Melihat tulah Mesir dari perspektif ini membuka pintu bagi pemahaman teologis yang lebih luas dan mendalam. Ini mengajak kita untuk memikirkan kembali hubungan antara Allah dan ciptaan dalam kerangka yang lebih holistik dan saling terkait.

Pemaknaan Ulang Hubungan Allah dan Alam Ciptaan

Selama ini, kita sering memisahkan Tuhan, manusia, dan alam dalam kotak-kotak terpisah. Tuhan di atas sana, manusia di bumi, dan alam ciptaan lainnya hanya sebagai latar belakang di mana manusia “beraksi”. Tapi bagaimana jika semuanya terhubung? Tuhan bekerja melalui alam, alam merespons tindakan manusia, dan manusia bertanggung jawab kepada keduanya. Ini mengajak kita untuk memikirkan kembali posisi kita dalam hubungan dengan ciptaan lainnya.

Pemahaman ini dekat dengan pandangan dunia Alkitab. Dalam Kejadian, manusia ditempatkan di taman Eden untuk “mengusahakan dan memelihara” (Kejadian 2:15). Ini menunjukkan hubungan yang intim dan saling bergantung antara manusia dan alam, dengan Tuhan sebagai sumber dan tujuan dari semuanya.

Dalam konteks ini, tindakan manusia yangmerusak alam bisa dilihat sebagai bentuk kegagalannya sebagai ciptaan yang semestinya hidup dalam keterhubungan yang baik, sama seperti penindasan terhadap sesama manusia. Ini membawa kita pada pemahaman yang lebih luas tentang dosa dan keselamatan, yang bukan hanya terbatas pada “jiwa” individual saja, tetapi yang mencakup seluruh ciptaan.

Tanggung Jawab Ekologis dalam Teologi

Jika alam bisa “protes” seperti Sungai Nil, maka tanggung jawab kita adalah meresponinya. Pemmahaman teologis kita harus mencakup tanggung jawab terhadap lingkungan. Ini bukan hanya masalah “menjaga ciptaan Tuhan” saja, tapi juga menghormati alam sebagai rekan kita dalam karya keselamatan Allah. Gereja perlu mengambil peran aktif dalam isu-isu lingkungan, bukan hanya sebagai kegiatan sampingan saja, akan tetapi sebagai bagian integral dari misi pelayanan kita di Bumi.

Hal ini mengundang kita untuk memikirkan kembali konsep “keselamatan” dalam pemahaman teologis kita. Apakah keselamatan hanya tentang jiwa manusia, atau apakah ia mencakup pemulihan seluruh ciptaan? Paulus berbicara tentang “langit baru dan bumi baru” (2 Petrus 3:13, Wahyu 21:1). Mungkinkah ini berarti bahwa misi kita sebagai orang Kristen termasuk menjaga dan memulihkan planet kita?

Lebih jauh lagi, pemahaman ini bisa membawa kita pada spiritualitas yang lebih dalam dan kaya. Jika kita melihat alam sebagai cerminan dari keagungan Tuhan dan sebagai rekan dalam penyembahan, bagaimana ini akan mengubah cara kita berhubungan dengan dunia di sekitar kita? Mungkin kita akan menemukan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya tugas etis, tetapi juga tindakan penyembahan.

Relevansi untuk Kita Hari Ini

Pemahaman ini sangat relevan untuk konteks Indonesia saat ini. Sebagai negara dengan kekayaan alam yang luar biasa, Indonesia juga menghadapi tantangan ekologis yang besar. Bagaimana kita bisa menerapkan pemahaman tentang peran aktif ciptaan dalam karya keselamatan Allah dalam konteks kita hari ini?

Krisis Ekologi di Indonesia

Indonesia, bersama dunia, sedang menghadapi krisis ekologi yang serius. Dari pencemaran air hingga deforestasi, alam kita seolah sedang “menangis darah” seperti Sungai Nil. Kita perlu mendengarkan “protes” ini dan bertindak. Jika tidak, kita mungkin akan menghadapi “tulah” kita sendiri dalam berbagai bentuk bencana ekologis.

Contohnya, kita bisa melihat kasus pencemaran Sungai Citarum di Jawa Barat. Sungai yang dulunya menjadi sumber kehidupan kini telah berubah menjadi salah satu sungai tercemar di dunia. Setelah air Sungai Nil berubah menjadi darah, air Sungai Citarum berubah menjadi sampah. Ini adalah tulah yang merupakan bentuk “protes” Sungai Citarum itu sendiri.

Demikian juga dengan deforestasi di Kalimantan, Sumatera, Papua, dan berbagai daerah lain di Indonesia. Hilangnya hutan bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga permasalah rohani kita. Jika kita percaya bahwa alam adalah Gereja dan Tubuh Kristus itu sendiri, maka setiap kerusakan yang terjadi pada lingkungan kita adalah luka pada tubuh Kristus sendiri.

Kesimpulan

Memaknai ulang tulah Mesir dengan perspektif eko-eklesiologis membuka mata kita terhadap peran aktif alam dalam rencana Tuhan. Ini bukan hanya cerita kuno saja, tapi sebuah panggilan yang semakin relevan hari ini. Sebagai orang Kristen di Indonesia, kita dipanggil untuk mendengarkan suara alam ciptaan, merespons protesnya, dan melaksanakan tanggung jawab kita sebagai sesama ciptaan.

Pemahaman ini mengajak kita untuk melihat iman kita dalam pandangan yang baru. Bukan hanya tentang hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, kehidupan iman kita juga mencakup hubungan horizontal dengan seluruh ciptaan. Ini adalah panggilan untuk memaknai hidup keagamaan kita dalam cakupan harmoni yang lebih besar, yang menjangkau seluruh ciptaan.

Akhirnya, mari kita ingat bahwa dalam tradisi Kristen, kisah iman kita tidak berakhir dengan kematian, tetapi dengan kebangkitan. Mungkin “darah” ekologis yang kita saksikan hari ini bisa menjadi awal dari kebangkitan dan pembaruan bagi planet kita, jika kita memilih untuk mendengar dan bertindak.

1 comment

Post Comment