Menakar Ulang Perspektif Penginjilan dalam Kristen
Oleh: Eikel Karunia Ginting
Universitas Kristen Duta Wacana
Matius 28:19-20 seringkali menjadi ayat yang ampuh bagi gereja sebagai dasar praktik penginjilan. Namun, ayat tersebut seringkali dipahami secara sempit dan antroposentris, sebab penginjilannya terbatas hanya pada menjadikan setiap orang beragama Kristen saja. Padahal, amanat agung Yesus dalam ayat itu seharusnya dipahami lebih luas, tidak hanya tentang membaptis atau menambah jumlah jemaat gereja saja. Melalui tulisan ini, pemaknaan ulang konsep penginjilan akan dijelaskan dalam dua hal. Pertama, menjumpai Kristus melalui “yang lain”. Kedua, menyadari bahwa alam semesta adalah entitas yang beriman. Kedua pemahaman baru ini menawarkan transformasi bagi konsep Kekristenan dalam memandang sesama dan alam, serta mendorong sikap inklusif yang menjangkau seluruh ciptaan.
Menjumpai Kristus Melalui “Yang Lain”
Paradigma penginjilan Kristen yang dipengaruhi kolonialisme masa penjajahan dulu seringkali menyisakan pemisahan antara umat Kristen dan kepercayaan yang lain. Di Indonesia, penginjilan sering berupaya “mempertobatkan” masyarakat yang memeluk kepercayaan lokal menjadi orang Kristen atau anggota gereja. Usaha ini merupakan sebuah upaya “kristenisasi” yang justru menghilangkan esensi penginjilan sesungguhnya.
Kisah Paulus dalam Alkitab menjadi refleksi bagi perjumpaan dengan “yang lain”. Dalam perjalanannya ke kota-kota seperti Galatia, Roma, dan Filipi, Paulus bertemu dengan beragam budaya dan karakter. Salah satu perjumpaannya dengan ajaran Yahudi (Rom. 15:7-8) menunjukkan bagaimana Paulus menghormati dan memberi ruang tanpa menjelekkan yang lain, di mana ia mengenalkan Kristus melalui pembahasaan yang sesuai dengan konteks hidup dan pemahaman mereka sehari-hari sebagai umat Yahudi. Dalam contoh lain, yang tercatat di Kisah Para Rasul 9:23-25 dan Efesus 2:3, Paulus dikatakan menjumpai Kristus melalui penerimaan dan kebaikan dari setiap orang yang dijumpainya. Pengalaman ini menunjukkan bagaimana perjumpaan dengan “yang lain” itu sebagai wujud dari kehadiran Kristus.
Model penginjilan yang masih berusaha “menarik” orang menjadi Kristen dan justru melupakan fungsi pewartaan kabar baik perlu ditelaah kembali. Terutama, dalam konteks pluralitas Indonesia, perjumpaan agama Kristen dengan kepercayaan lokal (indigenous religion) seringkali menimbulkan pemisahan. Dalam pandangan ini agama Kristen dianggap memberikan keselamatan, sedangkan masyarakat yang memeluk kepercayaan lokal perlu mendapatkan pertobatan. Pendekatan ini harus ditransformasi, karena jika terus dilakukan, maka Injil hanya akan menjadi alat, bukan tumbuh sebagai kesadaran yang inklusif bagi setiap orang yang mendengarnya.
Alam Semesta sebagai Entitas yang Beriman
Penginjilan bukan hanya berbicara tentang manusia saja, melainkan juga relasi dengan alam semesta. Pesan dalam Mazmur 19:2, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya”, menunjukkan bahwa pandangan Kristen tentang manusia sebagai penatalayan (steward) bagi alam perlu dimaknai ulang. Banyak umat Kristen mulai menyadari pentingnya merawat alam, tetapi konsep ekologi bukan hanya soal menghargai dan merawat, melainkan menyadari bahwa alam, sama seperti manusia, bisa beriman, menyembah Allah, dan memuji-Nya.
Santo Fransiskus dari Assisi—seorang tokoh Katolik— menyadari alam semesta adalah saudara dan sesama ciptaan, yang memiliki pikiran. Manusia dan alam memiliki interdependensi (kesalingtergantungan) yang sama dan setara, karena ciptaan adalah sarana pewahyuan Allah. Paradigma yang antroposentris dan sifat manusia yang selalu ingin menguasai alam perlu mendapatkan perhatian khusus dalam pemahaman kita tentang penginjilan. Penginjilan harus dipahami bukan hanya sebagai perubahan status agama tetapi juga mendorong adanya transformasi diri. Karena alam semesta merupakan berita sukacita Allah (Deus Otiosus), maka alam memberitakan sukacita bagi manusia. Konsep ini belum banyak dipahami oleh umat Kristen sehingga penginjilan sering dilakukan satu arah, tanpa menyadari gerak timbal-baliknya, padahal transformasi diri juga terjadi melalui perjumpaan dengan alam semesta (air,udara, dan unsur alam lainnya).
Penginjilan Ramah dan Bersahabat dengan “yang Lain”
Kedua bagian tulisan di atas menjadi refleksi mendasar atas konsep penginjilan masa kini. Penginjilan hendaknya menumbuhkan kesadaran yang tidak hanya menjadikan orang berstatus agama Kristen atau menambah keanggotaan gereja (kuantitas) saja, tetapi menyoal juga kualitas hubungan yang terbangun olehnya dalam hal spiritualitas, dan kesadaran moral. Penginjilan mencakup relasi dengan yang lain.
Pemaknaan ulang konsep penginjilan merupakan perjuangan spiritual umat Kristen dan institusi gereja. Perjalanan spiritual kita bukan hanya tentang status sebagai orang Kristen saja (being Christian), tetapi tentang menjalankan proses dan perbuatan yang kita sebut sebagai Kristiani itu (becoming Christian). Oleh karena itu, diperlukan perluasan paradigma dan daur ulang konsep Kekristenan yang mengabaikan keberadaan sesama kita yang memiliki kepercayaan yang lain dan semesta ciptaan.
Penginjilan tidaklah berfokus hanya pada eksistensi diri atau eksistensi gereja saja. Ia tidak juga hanya berbicara tentang surga dan keselamatan semata. Penginjilan seharusnya mendorong tindakan ramah dan bersahabat dengan yang lain (manusia dan alam) sehingga seluruh ciptaan berelasi dalam kesadaran egaliter, adil, dan pro-eksistensi (saling mendukung).
Post Comment