Loading Now

Proyek IKN dan Suara Kenabian Eko-Eklesiologis

Oleh: Suar Suaka

Dalam beberapa waktu terakhir, proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) telah menjadi topik hangat di Indonesia. Namun, di tengah perdebatan sengit tentang dampak lingkungan dan sosial dari proyek ambisius ini, suara Gereja seringkali absen atau terlalu lembut untuk didengar. Sebagai umat Kristen, kita dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia, namun mengapa kita sering kali bungkam dalam isu-isu kritis nasional seperti ini? Artikel ini mengajak kita untuk memikirkan kembali peran Gereja dalam menyikapi proyek IKN, melalui lensa komitmen eko-eklesiologi yang melihat kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial sebagai perusakan terhadap Tubuh Kristus itu sendiri.

Proyek IKN dan Dampaknya

Dampak Lingkungan

Pembangunan IKN di Kalimantan Timur telah menimbulkan kekhawatiran serius terkait dampak lingkungannya. Kawasan hutan yang luas terancam akan dibabat, padahal hutan-hutan ini bukan sekadar pohon-pohon belaka, melainkan rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna. Melalui komitmen eko-eklesiologi kita, keanekaragaman hayati ini adalah manifestasi dari keindahan dan kebijaksanaan Sang Pencipta. Nabi Yeremia pernah berkata, “Sebab beginilah firman TUHAN: Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya… tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku” (Yeremia 9:23-24). Memahami dan mengenal Allah berarti juga menghargai ciptaan-Nya, termasuk ekosistem yang terancam oleh proyek IKN.

Dampak Sosial

Selain dampak lingkungan, proyek IKN juga menggusur dan meminggirkan masyarakat adat yang telah lama mendiami wilayah tersebut. Kitab Suci berulang kali menekankan pentingnya keadilan sosial dan pembelaan terhadap yang lemah. Nabi Amos dengan tegas menyuarakan, “Biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos 5:24). Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk menjadi suara bagi mereka yang tidak bersuara, termasuk komunitas adat yang terancam kehilangan tanah dan identitas budaya mereka akibat pembangunan IKN.

Suara Kenabian Eko-Eklesiologis terhadap IKN

Eko-Eklesiologi: Gereja sebagai Komunitas Ekologis

Komitmen eko-eklesiologi yang dibawa oleh Suar Suaka memperluas pemahaman kita tentang Gereja sebagai komunitas ekologis yang tidak terpisah dari alam. Dalam konteks IKN, ini berarti Gereja harus memahami dirinya sebagai bagian integral dari ekosistem Kalimantan, bukan entitas terpisah yang hanya peduli pada “urusan rohani”.

Leonardo Boff, seorang teolog pembebasan, menekankan bahwa “segala sesuatu saling terhubung”. Ini berarti bahwa nasib Gereja dan jemaatnya tidak bisa dipisahkan dari nasib hutan, sungai, dan masyarakat adat di sekitar IKN. Ketika alam rusak, Gereja pun terluka. Ketika masyarakat adat menderita, Gereja pun merasakan sakitnya.

Komitmen eko-eklesiologi ini mengajak kita untuk memperluas pemahaman kita tentang Tubuh Kristus. Rasul Paulus menulis, “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak… demikian juga Kristus” (1 Korintus 12:12). Dalam konteks komitmen eko-eklesiologi, Tubuh Kristus tidak hanya terbatas pada komunitas manusia, tetapi mencakup seluruh ciptaan. Hutan-hutan yang terancam, sungai-sungai yang tercemar, dan komunitas adat yang terpinggirkan—semuanya adalah bagian dari Tubuh Kristus yang lebih luas.

Pemahaman ini mengubah cara kita memandang proyek IKN. Ketika kita merusak lingkungan atau membiarkan ketidakadilan terjadi, kita sesungguhnya melukai Tubuh Kristus itu sendiri. Ini bukan sekadar masalah konservasi atau hak asasi manusia, melainkan persoalan teologis yang mendalam. Seperti yang ditulis oleh teolog Sallie McFague, “Dunia adalah tubuh Tuhan.” Dalam konteks ini, kerusakan hutan di Kalimantan bukan hanya masalah ekologis, tetapi juga spiritual.

Perspektif eko-eklesiologi ini juga mengajak kita untuk melihat alam sebagai tanda kasih dan kehadiran Allah. Thomas Berry, seorang pemikir eko-teologi, menyebut alam sebagai “pewahyuan utama Allah”. Dalam konteks ini, hutan-hutan Kalimantan yang terancam oleh proyek IKN bukanlah sekadar sumber daya alam, melainkan Tubuh Kristus yang menyatakan kemuliaan Tuhan dan sedang terancam oleh perusakan lingkungan di sana.

Menyadari alam sebagai Gereja dan Tubuh Kristus mengubah cara kita menyikapi proyek IKN. Permasalahan ini bukan lagi sekadar persoalan pembangunan infrastruktur dan aliran modal ataupun keuntungan, melainkan pertanyaan tentang bagaimana kita menghormati Tubuh Kristus itu sendiri. Seperti halnya kita tidak akan sembarangan merusak tubuh kita sendiri, demikian pula kita seharusnya berhati-hati dalam mengubah lanskap alam Kalimantan.

Shalom dalam Keadilan Ekologis dan Tanggung Jawab Profetis Gereja

Dengan demikian, konsep shalom dalam Alkitab tidak hanya berbicara tentang perdamaian antara manusia, tetapi juga harmoni dengan seluruh ciptaan. Proyek IKN, jika tidak dikelola dengan bijak, berpotensi mengganggu shalom ini. Penggusuran masyarakat adat dan perusakan habitat alami bertentangan dengan visi alkitabiah tentang keadilan yang mencakup seluruh ciptaan.

Jurgen Moltmann, seorang teolog Jerman, berbicara tentang “komunitas ciptaan”, di mana manusia dan alam hidup dalam relasi yang saling menghormati. Dalam konteks IKN, ini berarti pembangunan harus mempertimbangkan hak-hak seluruh “komunitas ciptaan”—baik manusia maupun non-manusia.

Sebagai bagian dari Tubuh Kristus, Gereja memiliki tanggung jawab profetis untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan. Yesus sendiri sering kali berbicara menentang ketidakadilan dan penindasan. Mengawali pelayanan-Nya Ia mengumumkan, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin” (Lukas 4:18).

Dalam konteks IKN, tanggung jawab profetis ini berarti Gereja harus berani menyuarakan keprihatinan tentang dampak lingkungan dan sosial dari proyek tersebut. Ini bukan sekadar urusan politik, melainkan perwujudan dari panggilan kita untuk menjaga keutuhan ciptaan dan membela keadilan.

Gereja perlu mengambil sikap kritis terhadap narasi “pembangunan” yang sering kali mengabaikan aspek ekologis dan keadilan sosial. Seperti para nabi dalam Perjanjian Lama yang berani menentang kebijakan raja yang tidak adil, Gereja hari ini pun dipanggil untuk menjadi “pengawas” yang kritis terhadap kebijakan pemerintah terkait IKN.

Peran Aktif Gereja dalam Isu IKN

Lalu, apa yang bisa dilakukan Gereja secara konkret? Pertama, Gereja perlu mendorong jemaatnya untuk lebih sadar dan peduli terhadap isu-isu lingkungan dan sosial. Ini bisa dilakukan melalui khotbah, seminar, atau kelompok diskusi yang membahas topik-topik lingkungan, termasuk tentang IKN, dari perspektif iman Kristen.

Kedua, Gereja bisa menjadi fasilitator dialog antara berbagai pihak yang terlibat dalam proyek IKN, termasuk pemerintah, masyarakat adat, dan aktivis lingkungan. Gereja memiliki posisi unik sebagai lembaga yang bisa menjembatani berbagai kepentingan dan mendorong dialog yang konstruktif.

Ketiga, Gereja bisa terlibat dalam advokasi kebijakan, mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek IKN. Ini bisa dilakukan melalui pernyataan resmi, petisi, atau bahkan keterlibatan langsung dalam proses konsultasi publik.

Dalam melakukan semua ini, kita perlu ingat bahwa tujuan kita bukanlah semata-mata menentang pembangunan, melainkan mendorong pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Seperti yang diingatkan oleh Nabi Mikha, “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mikha 6:8).

Kesimpulan

Proyek IKN bukan sekadar isu politik atau pembangunan biasa. Bagi kita sebagai umat Kristiani, ini adalah kesempatan untuk mewujudkan iman kita dalam tindakan nyata, menjadi suara profetis yang menyuarakan keadilan dan keutuhan ciptaan. Dengan menggunakan perspektif eko-eklesiologi, kita diajak untuk melihat bahwa keterlibatan dalam isu-isu seperti IKN adalah bagian integral dari panggilan kita sebagai pengikut Kristus.

Komitmen eko-eklesiologi kita mengundang untuk melihat proyek IKN bukan hanya sebagai masalah pembangunan, tetapi sebagai tantangan spiritual dan moral. Ini adalah kesempatan bagi Gereja untuk menunjukkan relevansi imannya dalam menghadapi isu-isu kontemporer yang kompleks.

Mari kita bangkit dan menjadi “garam dan terang” dalam isu kritis ini, demi Tubuh Kristus yang mencakup seluruh ciptaan. Dengan demikian, kita tidak hanya berkontribusi pada pembangunan yang lebih berkelanjutan, tetapi juga memberikan kesaksian yang kuat tentang kasih Allah yang mencakup seluruh ciptaan.

Post Comment