Memaknai Ulang Pelayanan Yesus sebagai Karya Keselamatan bagi Seluruh Ciptaan
Oleh: Suar Suaka
Dalam tradisi Kristen, kita sering memahami pelayanan Yesus hanya dalam konteks keselamatan manusia. Namun, bagaimana jika kita memperluas pemahaman kita? Bagaimana jika pelayanan-Nya sebenarnya mencakup seluruh ciptaan? Di tengah krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini, khususnya di Indonesia, mungkin sudah waktunya kita melihat kembali ajaran dan tindakan Yesus dari sudut pandang yang baru. Mari kita jelajahi bagaimana pelayanan Yesus bisa menjadi model bagi kita dalam merawat dan menghargai seluruh ciptaan Tuhan.
Memikirkan Ulang Pelayanan Yesus dalam Konteks Ekologis
Selama ini kita memaknai pelayanan Yesus terutama dalam konteks keselamatan manusia. Kita memahami mujizat-Nya sebagai tanda kuasa ilahi dan pengajaran-Nya sebagai petunjuk untuk hidup yang saleh. Namun, penafsiran ini memiliki keterbatasan. Dengan fokus yang sempit pada manusia, kita mungkin telah mengabaikan pesan yang lebih luas tentang tanggung jawab kita terhadap seluruh ciptaan Tuhan.
Misalnya, ketika kita membaca tentang Yesus memberi makan lima ribu orang, kita cenderung melihatnya hanya sebagai mujizat untuk manusia. Tapi bagaimana jika kita juga melihatnya sebagai pelajaran tentang berbagi sumber daya alam dengan bijak? Atau ketika Yesus menenangkan badai, mungkinkah itu juga mengajarkan kita tentang harmoni dengan alam?
Pemahaman eko-teologi membuka wawasan baru tentang peran Yesus. Dalam pandangan ini, Yesus tidak hanya datang untuk menyelamatkan manusia, tetapi untuk mendamaikan seluruh ciptaan dengan Sang Pencipta. Inkarnasi-Nya bukan hanya tentang Allah menjadi manusia, tetapi juga tentang kehadiran Allah yang tak terpisahkan dari ciptaan.
Dengan pemahaman ini, kita bisa melihat bahwa ketika Yesus menyembuhkan orang sakit, Dia juga menunjukkan kepedulian terhadap aspek fisik ciptaan. Ketika Dia mengajar tentang Kerajaan Allah, itu bukan hanya tentang surga di masa depan, tetapi juga tentang bagaimana kita hidup selaras dengan seluruh ciptaan di sini dan sekarang.
Mujizat di Kana: Metafora Keterkaitan Ciptaan
Mujizat pertama Yesus di pesta pernikahan Kana adalah salah satu kisah yang paling dikenal dalam Injil. Ketika anggur habis, Yesus mengubah air menjadi anggur. Biasanya kita akan melihat ini sebagai demonstrasi kuasa-Nya dan simbol dari sukacita yang Dia bawa.
Namun, kita juga dapat melihat mujizat ini melalui kacamata eko-teologi. Air dan anggur, keduanya adalah elemen alam yang dekat dengan kehidupan orang-orang Yahudi di masa itu. Ketika air berubah menjadi anggur, Yesus menunjukkan bagaimana elemen-elemen alam ciptaan saling terkait dan saling membawa transformasi yang mendasar bagi satu sama lain. Seluruh ciptaan saling terhubung dan saling memengaruhi.
Lebih jauh lagi, tindakan Yesus ini menunjukkan bahwa alam, di bawah sentuhan ilahi, dapat menghasilkan kecukupan yang berkelanjutan. Ini mengajarkan kita bahwa ketika kita bekerja sama dengan alam, bukan mengeksploitasinya, kita bisa menciptakan bukan hanya kelimpahan yang hanya bertahan satu hari saja, melainkan kecukupan yang berkelanjutan.
Dengan mengubah air menjadi anggur, Yesus tidak hanya melakukan mujizat, tetapi juga menyatakan diri-Nya sebagai penggenapan janji mesianik. Dia menunjukkan bahwa era baru telah dimulai – era di mana seluruh ciptaan akan dipulihkan dan diubahkan.
Lebih lagi, tindakan Yesus ini bisa dilihat sebagai “penciptaan baru” dalam skala mikro. Sama seperti Allah karya penciptaan dunia, Yesus “menciptakan” anggur dari air. Ini mengingatkan kita pada peran-Nya sebagai Logos, yang melalui-Nyalah segala sesuatu dijadikan (Yohanes 1:3).
Hal yang penting untuk dilihat dalam mujizat ini adalah bahwa air dan anggur bukan semata-mata unsur yang pasif dalam mewujudkan mujizat tersebut. Mujizat itu merupakan sebuah demonstrasi yang melibatkan partisipasi aktif dari setiap komponen ciptaan. Yesus memimpin unsur-unsur tersebut seperti sebuah orkestra dalam mewujudkan mujizat tersebut.
Jika kita melihat mujizat Kana sebagai gambaran dari keterkaitan dan partisipasi aktif ciptaan dalam mewujudkan kebesaran ilahi, kita bisa memahami konsep ciptaan sebagai Tubuh Kristus dalam arti yang lebih luas. Sama seperti air dan anggur adalah bagian dari satu kesatuan dalam mujizat tersebut, demikian juga seluruh ciptaan – manusia, hewan, tumbuhan, bahkan benda-benda tak bernyawa – adalah sebuah kesatuan yang secara bersama-sama mewujudkan karya keselamatan Kristus.
Pemahaman ini mengubah cara kita melihat lingkungan. Bukan lagi bumi dilihat sebagai sumber daya untuk dieksploitasi, tetapi sebagai bagian dari diri kita sendiri yang perlu kita jaga dan hormati. Mereka merupakan komponen ciptaan yang secara aktif mewartakan kemuliaan Tuhan. Ketika kita merusak lingkungan, kita sebenarnya melukai Tubuh Kristus itu sendiri.
Selain itu, mujizat di Kana juga mengajarkan kita tentang sakramentalitas ciptaan. Dalam tradisi Kristen, sakramen adalah tanda kasih karunia Allah yang kelihatan. Yesus menggunakan elemen-elemen alam – air dan anggur – sebagai sarana untuk menyatakan kemuliaan-Nya.
Pemahaman ini mengundang kita untuk melihat seluruh ciptaan sebagai “sakramen” – yaitu tanda kehadiran dan kasih karunia Allah melalui hal-hal di sekitar kita. Setiap pohon, setiap sungai, setiap makhluk hidup menjadi pengingat akan kehadiran Allah yang terus-menerus dalam dunia kita. Dengan demikian, merawat lingkungan bukan hanya tanggung jawab ekologis, tetapi juga tindakan ibadah dan penghormatan kepada Allah.
Implikasi Praktis bagi Penatalayanan Lingkungan Kristiani
Pemahaman baru ini membawa implikasi praktis bagi kehidupan kita sehari-hari. Sebagai bagian dari Tubuh Kristus yang lebih luas, kita memiliki tanggung jawab pribadi untuk merawat ciptaan. Ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti mengurangi penggunaan plastik, menghemat energi, atau memilih produk yang ramah lingkungan.
Lebih dari itu, kita perlu mengembangkan sikap hormat terhadap alam dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika kita menikmati keindahan alam, kita bisa melihatnya sebagai wujud kehadiran Allah dan meresponnya dengan rasa syukur dan kagum.
Sebagai komunitas Kristen, kita juga dipanggil untuk pemaknaan iman dan komitmen eko-eklesiologis yang lebih luas. Gereja-gereja di Indonesia bisa mengambil peran aktif dalam kampanye pelestarian lingkungan dalam berbagai bentuk, seperti program penanaman pohon atau pembersihan pantai.
Di era media sosial yang membawa kita semakin terhubung ini, kita juga bisa menjadi suara-suara profetis yang menyerukan keadilan lingkungan. Ketika ada kebijakan atau praktik yang merusak lingkungan, kita sebagai komunitas Kristen dengan komitmen eko-eklesiologis harus berani angkat bicara dan mendorong perubahan, mengikuti teladan Yesus yang berani menentang ketidakadilan pada zamannya.
Pemahaman eko-teologis ini juga membawa transformasi bagi liturgi dan kehidupan spiritualitas kita. Misalnya, kita bisa memasukkan doa-doa untuk pemulihan lingkungan dalam ibadah kita. Dalam contoh lain, kita dapat memaknai aspek-aspek ekologis yang terintegrasi dalam ibadah-ibadah kita. Seperti air yang mampu berubah dalam perjumpaannya dengan Kristus, setiap elemen yang kita jumpai dalam hidup berkomunitas kita merupakan elemen-elemen material yang secara aktif berubah membentuk sebuah realitas ekologis tertentu.
Dalam perayaan sakramen, kita bisa merefleksikan kembali makna roti dan anggur tidak hanya sebagai simbol tubuh dan darah Kristus, tetapi juga sebagai pengingat akan keterkaitan kita dengan seluruh ciptaan. Ini bisa memperdalam pemahaman kita tentang Ekaristi sebagai perayaan pemulihan seluruh ciptaan dalam Kristus.
Kesimpulan
Memaknai ulang pelayanan Yesus dalam konteks ekologis membuka mata kita pada dimensi baru dari iman Kristen. Ini bukan hanya tentang “menyelamatkan jiwa”, tetapi tentang berpartisipasi dalam karya pemulihan Allah atas seluruh ciptaan. Melalui pemahaman ini, kita diundang untuk melihat peran kita sebagai pengikut Kristus dengan cara yang baru – sebagai penjaga dan pemelihara seluruh ciptaan Allah.
Mujizat di Kana menjadi contoh sempurna bagaimana elemen-elemen ciptaan mampu mengubah diri mereka dalam perjumpaan mereka dengan sang Firman itu. Ini mengajarkan kita bahwa spiritualitas yang sejati tidak memisahkan yang rohani dari yang jasmani, yang manusiawi dari yang alamiah. Sebaliknya, spiritualitas Kristen yang utuh merangkul seluruh ciptaan yang turut bekerja dalam penyataan diri-Nya bagi seluruh ciptaan.
Mari kita tanggapi panggilan ini dengan penuh sukacita dan komitmen, demi kemuliaan Allah dan kesejahteraan seluruh ciptaan-Nya. Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga warisan alam Indonesia yang kaya, tetapi juga berpartisipasi dalam karya kosmis Kristus untuk memulihkan dan mendamaikan segala sesuatu dengan Allah.
Post Comment