Dari Kenaikan Yesus Menuju Pentakosta: Refleksi bagi Demokrasi dan Keragaman
Oleh: Suar Suaka
Sepuluh hari setelah peristiwa kenaikan Yesus Kristus ke surga, mayoritas umat Kristen akan merayakan hari Pentakosta. Pentakosta, menurut tradisi Kristen, adalah momen di mana Roh Tuhan hinggap pada murid-murid Yesus. Dari banyak peristiwa lain yang mengitarinya, salah satu keajaiban yang tercatat di hari itu adalah ketika murid-murid Yesus tiba-tiba mampu berbicara dalam berbagai bahasa asing sehingga orang-orang dari berbagai daerah mampu memahami pemberitaan mereka.
Sekilas, peristiwa ini tidak memiliki kaitan apa-apa dengan demokrasi. Namun, sebenarnya momen Pentakosta ini menunjukkan sebuah nilai yang krusial bagi demokrasi, yang sangat relevan juga bagi konteks masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, artikel ini akan menggali pemaknaan tersebut dengan membahas sedikit tentang momen Pentakosta dan pemaknaannya, lalu membawanya pada narasi demokrasi Indonesia yang menjunjung keragaman.
Sila keempat dan kelima Pancasila mengatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini menjadi dua poin kunci dari praktik demokrasi Indonesia. Demokrasi dengan keterwakilan inilah yang mewujud dalam bentuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun dari sana muncullah sebuah pertanyaan, siapa yang diwakili di sana? Saat dikatakan seluruh rakyat, maksudnya rakyat yang mana?
Situasi yang agak serupa waktu itu juga dihadapi oleh murid-murid Yesus. Saat Yesus naik ke surga, murid-muridnya ditugaskan untuk pergi membawa kabar baik tentang kasih, keadilan, dan perdamaian bagi seluruh bangsa. “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku”, kata Yesus kepada murid-murid yang berkumpul di daerah Galilea setelah Yesus bangkit dari kematian. Kebanyakan murid Yesus bekerja sebagai petani dan nelayan. Momen ini tentu menjadi sebuah momen yang tidak terperi, ketika murid-murid Yesus diperhadapkan dengan sebuah realitas global. Dunia mereka tidak dapat lagi dibatasi pada bertani dan menjaring ikan saja, karena mereka harus bertemu dan mengabarkan berita tentang kasih, keadilan, dan perdamaian itu kepada “semua bangsa”!
Empat puluh hari setelah kebangkitan Yesus, Ia naik ke surga, sebagaimana diperingati pada tanggal 9 Mei yang lalu. Saat Yesus naik ke surga, Ia menjanjikan bahwa Roh Kudus akan turun menyertai murid-murid dalam tugas besar mereka menyampaikan kabar kasih, keadilan, dan perdamaian itu kepada seluruh bangsa. Di sini pertanyaan itu dapat kita bayangkan muncul di benak para murid, “bangsa yang mana?”.
Permasalahan ini muncul juga dalam praktik demokrasi Indonesia. Dalam model demokrasi perwakilan kita, seringkali kita mendengar keluhan dari banyak kelompok yang merasa tidak cukup terwakili dalam kursi kepemimpinan yang turut andil dalam pengambilan keputusan. Permasalahan ini sebenarnya berakar pada pertanyaan tentang rakyat dan bangsa mana yang dimaksud tadi.
Di sini kita dapat mengidentifikasi dua tren berbeda: demokrasi yang memelihara keragaman dan demokrasi yang membungkan keragaman. Praktik-praktik intoleransi di masyarakat, diskriminasi yang menjamur di tubuh pemerintah, dan seruan-seruan yang mengarahkan masyarakat pada keterpecahan dan konflik merupakan contoh-contoh demokrasi yang berusaha untuk membungkan keragaman. Dalam pola pikir ini seakan-akan hanya satu saja yang harus mendominasi perwakilan kita: kelompok “saya sendiri”. Biasanya, narasi yang dibangun adalah mayoritarianisme yang sedang menyembunyikan egoisme individu dan kelompok dengan mengklaim bahwa intoleransinya adalah “demi kepentingan bersama”. Karena itulah tidak jarang kita mendengar klaim “demi kepentingan bersama” ini menjadi validasi dalam kasus-kasus pembubaran ibadah dan pelarangan rumah ibadah.
Sebaliknya, praktik-praktik yang merayakan keragamaan masyarakat, keadilan bagi semua tanpa melihat latar belakang identitas, dan usaha-usaha yang mengarahkan masyarakat pada persatuan dan harmoni merupakan contoh-contoh demokrasi yang berusaha untuk memelihara keragaman. Dalam pola pikir ini, keragaman dan perbedaan bukan sesuatu untuk dihindari, akan tetapi adalah kendaraan untuk menyebarkan nilai-nilai luhur kasih, keadilan, dan perdamaian bagi semua orang. Hal inilah yang sebenarnya sedang ditekankan dalam frasa “seluruh rakyat” dalam sila kelima kita. Kata “seluruh” mencakup semua orang, terlepas dari perbedaan identitasnya, bukan untuk diri atau kelompok sendiri saja.
Dalam peristiwa Pentakosta, seperti yang tadi disinggung sedikit, terjadi sebuah keajaiban. Murid-murid Yesus pada waktu itu sedang berkumpul di sebuah tempat. Tiba-tiba ada suara seperti angin keras yang turun dari langit dan memenuhi ruangan di mana mereka berkumpul. Lalu di atas kepala mereka muncul nyala-nyala api seperti lilin, yang adalah menandai hinggapnya Roh Kudus pada setiap mereka. Setelah itu, mereka keluar dan berbicara dalam berbagai bahasa. Mereka menyampaikan pesan Tuhan dalam berbagai bahasa asing sehingga orang-orang dari berbagai daerah dapat memahami apa yang mereka bicarakan.
Dalam peristiwa ini, yang terjadi bukanlah semua orang dari berbagai bangsa dapat mengerti bahasa Aram yang adalah bahasa sehari-hari murid-murid Yesus atau semua menjadi satu bahasa, akan tetapi sebaliknya: murid-murid Yesus tiba-tiba mampu berbicara dalam berbagai bahasa asing. Di sini jelas bahwa pesan yang dibawa adalah bahwa keragaman orang-orang itu harus dihargai dan dirayakan, bukan dijadikan sama. Ke sinilah tujuan demokrasi kita sebenarnya: demi keragaman.
Demokrasi kita bukan sebuah usaha untuk membuat semua orang menjadi sama. Dia juga bukan ditujukan bagi yang mayoritas saja. Tujuan dari adanya perwakilan dalam sistem demokrasi kita adalah agar semua orang dengan berbagai kepentingannya dapat ikut hadir dalam proses pengambilan keputusan. Kumpulan undang-undang yang disahkan oleh DPR merupakan usaha menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam menuju keseluruhan rakyat ini, momen Pentakosta mengingatkan bahwa Tuhan sendiri menghargai perbedaan, karena sesungguhnya keragaman adalah kekayaan yang perlu dirayakan.
Post Comment